Selasa, 08 Maret 2011

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN POST CRANIOTOMY SDH

KONSEP POST CRANIOTOMY SDH



A. Pengertian
1. Pengertian Craniotomy
Menurut Brown CV, Weng J, Craniotomy adalah Operasi untuk membuka tengkorak (tempurung kepala) dengan maksud untuk mengetahui dan memperbaiki kerusakan otak. Menurut Hamilton MG, Frizzell JB, Tranmer BI, Craniectomy adalah operasi pengangkatan sebagian tengkorak. Sedangkan menurut Chesnut RM, Gautille T, Blunt BA, Craniotomi adalah prosedur untuk menghapus luka di otak melalui lubang di tengkorak (kranium). Dari ketiga pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian dari Craniotomi adalah Operasi membuka tengkorak (tempurung kepala) untuk mengetahui dan memperbaiki kerusakan yang diakibatkan oleh adanya luka yang ada di otak.
2. Pengertian SDH (Subdural Hematoma)
Hematoma subdural adalah akumulasi darah dibawah lapisan duramater dan di atas lapisan arakhnoid, yang disebabkan oleh robekan permukaan vena atau pengeluaran kumpulan darah vena.
Jadi pengertian dari Post Craniotomy SDH adalah Operasi membuka tengkorak (tempurung kepala) untuk mengetahui dan memperbaiki kerusakan yang diakibatkan oleh adanya akumulasi darah dibawah lapisan duramater dan di atas lapisan arakhnoid yang disebabkan oleh robekan permukaan vena atau pengeluaran kumpulan darah vena.

B. Tujuan
Craniotomi adalah jenis operasi otak. Ini adalah operasi yang paling umum dilakukan untuk otak pengangkatan tumor. Operasi ini juga dilakukan untuk menghilangkan bekuan darah (hematoma), untuk mengendalikan perdarahan dari pembuluh, darah lemah bocor (aneurisma serebral), untuk memperbaiki malformasi arteriovenosa (koneksi abnormal dari pembuluh darah), untuk menguras abses otak, untuk mengurangi tekanan di dalam tengkorak, untuk melakukan biopsi, atau untuk memeriksa otak.

C. Etiologi
Etiologi dilakukannya Craniotomy karena
1. Adanya benturan kepala yang diam terhadap benda yang sedang bergerak. Misalnya pukulan-pukulan benda tumpul, kena lemparan benda tumpul.
2. Kepala membentur benda atau objek yang secara relative tidak bergerak. Misalnya membentur tanah atau mobil.
3. Kombinasi keduanya.

D. Tanda dan Gejala Subdural Hematoma
Tanda dan gejala dari Subdural Hematoma adalah Nyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik diri, berfikir lambat, kejang dan edema pupil.

E. Pembagian Subdural Hematoma
Subdural Hematoma dibagi menjadi tiga tingkat, antara lain :
1. Hematoma Subdural Akut
Trauma yang merobek duramater dan arachnoid sehingga darah dan CSS masuk ke dalam ruang subdural. Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak. Keadaan ini menimbulkan berhentinya pernafasan dan hilangnya kontrol denyut nadi dan tekanan darah. Cedera ini menunjukkan gejala dalam 24 – 48 jam setelah trauma. Diagnosis dibuat dengan arteriogram karotis dan ekoensefalogram / CT Scan, pengobatan terutama tindakan bedah.
Lebih dari sepertiga pasien mempunyai lucid interval yang berakhir dalam menit atau hitungan jam sebelum koma, tetapi kebanyakan komatose didapatkan dari saat kejadian. Trauma cranial langsung dapat minor dan tidak dibutuhkan perdarahan subdural akut untuk timbul, terutama pada orang tua dan mereka yang menggunakan medikasi antikoagulan. Tahanan Akselerasi sendiri, dari kejadian, terkadang cukup untuk menimbulkan suatu perdarahan subdural. Nyeri kepala sebelah dan pembesaran pupil pada sisi yang sama adalah lebih sering tetapi tidak tampak seringnya. Stupor atau koma, hemiparesis, dan pembesaran pupil merupakan tanda dari hematoma yang besar. Pada pasien deteriorisasi akut, burr holes atau pada craniotomy dibutuhkan. Hematoma subdural kecil dapat menjadi asimptomatik dan biasanya tidak membutuhkan evakuasi.
2. Hematoma Subdural Subakut
Perdarahan ini menyebabkan devisit neurologik yang bermakna dalam waktu lebih dari 48 jam. Peningkatan tekanan intra kranial disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan herniasi ulkus / sentral dan melengkapi tanda – tanda neurologik dari kompresi batang otak. Pengobatan ini dengan pengangkatan bekuan darah. Sindrom yang melibatkan sub akut akibat sindroma hematom subdural timbul berhari-hari setelah gangguan dengan nyeri kepala, atau hemiparesis ringan; hal ini biasanya meningkat pada alkoholik dan pada orang tua, seringkali setelah trauma minor.
Pada studi imaging tampak pengumpulan crescentik melewati konveksitas pada satu atau kedua hemisfer, tetapi lebih sering pada wilayah frontotemporal, dan sedikit sering pada fosa mid inferior atau melalui oksipital. Interhemispheric, posterior fossa, atau bilateral convexity hematomas sedikit lebih sering dan sulit untuk didiagnosa secara klinis, meskipun tanda yang diharapkan pada setiap kerusakan wilayah biasanya dapat dideteksi. Perdarahan yang dapat menyebabkan hematoma yang besar aslinya merupakan vena, meskipun perdarahan arterial tambahan ditempat terkadang ditemukan pada saat operasi dan beberapa hematoma yang besar memang berasal dari arteri.
3. Hematoma subdural Kronik
Timbulnya gejala ini pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan, dan tahun setelah cedera pertama. Perluasan ini massa terjadi pada kebocoran kapiler lambat. Gejala umum meliputi sakit kepala, letargi, kacau mental, kejang, dan kadang – kadang disfasia. Diagnosis dibuat dengan arteriografi. Pada klien dengan hematoma kecil tanpa tanda–tanda neurologik, maka tindakan pengobatan yang terbaik adalah melakukan pemantauan ketat. Sedangkan klien dengan gangguan neurologik yang progresif dan gejala kelemahan, cara pengobatan yang terbaik adalah pembedahan.
Observasi klinis yang digandakan dengan imaging serial merupakan pendekatan yang berasan dengan beberapa gejala dan koleksi subdural kronik yang sedikit. Terapi dengan glukokortikoid sendiri cukup untuk beberapa hematoma, tetapi evakuasi pembedahan lebih sering berhasil. Membrane fibrous yang tumbuh dari dura dan pengumpulan yang tidak berkapsul membutuhka n pemindahan untuk mencugah akumulasi cairan berulang. Hematoma kecil diabsorbsi, sisa yang tinggal hanyalah membrane yang terorganisasi. Pada studi imaging hematoma subdural kronik dapat sulit untuk dibedakan dengan higroma, dimana pengumpulan CSF didapatkan dari membrane arachnoid. Sebagaimana disebutkan, kerusakan korteks dengan penyebab mendasar hematoma kronik dapat timbul sebagai focus kejang kemudian.




Karena pembagian di atas sukar diterapkan di klinis terutama dalam rangka “ triage “ maka lebih realistis bila pembagian berdasarkan tingkat kesadaran meskipun terdapat beberapa kekurangan yaitu :
a. Cedera Kepala Berat
1) GCS 3-8
2) Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia > 24 jam.
3) Juga meliputi kontusio celebral, laserasi, atau hematoma intracranial
b. Cedera Kepala Sedang
1) GCS 9-12
2) Kehilangan kesadaran dan atau amnesia >30 menit tetapi kurang dari 24 jam
c. Cedera Kepala Ringan
1) GCS 13-15
2) Kehilangan kesadaran/amnesia <30 menit.
3) Tidak ada fraktur tengkorak.
4) Tidak ada kontusio celebral, hematoma
d. Perdarahan Intrakranial dengan GCS : Cedera Ringan/sedang dianggap sebagai cedera kepala berat.

F. Proses penyembuhan luka
1. Fase pertama
Berlangsung sampai hari ke 3. Batang lekosit banyak yang rusak / rapuh. Sel-sel darah baru berkembang menjadi penyembuh dimana serabut-serabut bening digunakan sebagai kerangka.
2. Fase kedua
Dari hari ke 3 sampai hari ke 14. Pengisian oleh kolagen, seluruh pinggiran sel epitel timbul sempurna dalam 1 minggu. Jaringan baru tumbuh dengan kuat dan kemerahan.
3. Fase ketiga
Sekitar 2 sampai 10 minggu. Kolagen terus-menerus ditimbun, timbul jaringan-jaringan baru dan otot dapat digunakan kembali.
4. Fase keempat
Fase keempat adalah fase terakhir. Penyembuhan akan menyusut dan mengkerut.


























G. Pathway

TIK - oedem
Etiologi - hematom
Respon biologi Hypoxemia
Cidera kepala
Kelainan metabolisme
Cidera otak primer Cidera otak sekunder
Kontusio
Laserasi Kerusakan cel otak 


Gangguan autoregulasi  rangsangan simpatis Stress

Aliran darah keotak   tahanan vaskuler  katekolamin
Sistemik & TD   sekresi asam lambung

O2   ggan metabolisme  tek. Pemb.darah Mual, muntah
Pulmonal

Asam laktat   tek. Hidrostatik Asupan nutrisi kurang

Oedem otak kebocoran cairan kapiler

Ggan perfusi jaringan oedema paru  cardiac out put 
Cerebral
Difusi O2 terhambat Ggan perfusi jaringan

Gangguan pola napas  hipoksemia, hiperkapnea

H. Komplikasi post operasi craniotomi
Komplikasi yang mungkin timbul pada pasien post operasi craniotomi antara lain :
1. Edema cerebral
2. Perdarahan subdural, epidural, dan intracerebral
3. Hypovolemik syok
4. Hydrocephalus
5. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit (SIADH atau Diabetes Insipidus)
6. Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis.
Tromboplebitis postoperasi biasanya timbul 7 - 14 hari setelah operasi. Bahaya besar tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas dari dinding pembuluh darah vena dan ikut aliran darah sebagai emboli ke paru-paru, hati, dan otak. Pencegahan tromboplebitis yaitu latihan kaki post operasi, ambulatif dini.
7. Infeksi.
Infeksi luka sering muncul pada 36 - 46 jam setelah operasi. Organisme yang paling sering menimbulkan infeksi adalah stapilokokus aurens, organisme; gram positif. Stapilokokus mengakibatkan pernanahan. Untuk menghindari infeksi luka yang paling penting adalah perawatan luka dengan memperhatikan aseptik dan antiseptik.
8. Kerusakan integritas kulit sehubungan dengan dehisensi luka atau eviserasi.
Dehisensi luka merupakan terbukanya tepi-tepi luka. Eviserasi luka adalah keluarnya organ-organ dalam melalui insisi. Faktor penyebab dehisensi atau eviserasi adalah infeksi luka, kesalahan menutup waktu pembedahan.



I. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Perawatan
Penatalaksanaan Perawatan pada pasien post operasi Craniotomi adalah
a. Mengurangi komplikasi akibat pembedahan.
b. Mempercepat penyembuhan.
c. Mengembalikan fungsi pasien semaksimal mungkin seperti sebelum operasi.
d. Mempertahankan konsep diri pasien.
e. Mempersiapkan pasien pulang.
2. Penatalaksanaan medis
Penatalaksanaan medis pada pasien post craniotomy antara lain
a. Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai dengan berat ringanya trauma.
b. Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurnagi vasodilatasi.
c. Pengobatan anti edema dnegan larutan hipertonis yaitu manitol 20 % atau glukosa 40 % atau gliserol 10 %.
d. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisillin) atau untuk infeksi anaerob diberikan metronidasol.
e. Makanan atau cairan, Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrosa 5 %, amnifusin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2 - 3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
f. Pada trauma berat. Karena hari-hari pertama didapat penderita mengalami penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit maka hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan. Dextosa 5 % 8 jam pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua dan dextrosa 5 % 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah makanan diberikan melalui nasogastric tube (2500 - 3000 TKTP). Pemberian protein tergantung nilai ure nitrogennya.
g. Pembedahan.
3. Penatalaksanaan konservatif
Penatalaksanaan konservatif pada pasien post craniotomy antara lain
a. Bedrest total
b. Pemberian obat-obatan
c. Observasi tanda-tanda vital dan tingkat kesadaran.

J. Perawatan Pasca Pembedahan
Perawatan Pasca Operasi pada pasien craniostomi antara lain
1. Tindakan keperawatan post operasi
a. Monitor kesadaran, tanda-tanda vital, CVP, intake dan output
b. Observasi dan catat sifat darai drain (warna, jumlah) drainage.
c. Dalam mengatur dan menggerakan posisi pasien harus hati-hati, jangan sampai drain tercabut.
d. Perawatan luka operasi secara steril.
2. Makanan
Pada pasien pasca pembedahan biasanya tidak diperkenankan menelan makanan sesudah pembedahan. makanan yang dianjurkan pada pasien post operasi adalah makanan tinggi protein dan vitamin C. Protein sangat diperlukan pada proses penyembuhan luka, sedangkan vitamin C yang mengandung antioksidan membantu meningkatkan daya tahan tubuh untuk pencegahan infeksi. Pembatasan diit yang dilakukan adalah NPO (nothing peroral). Biasanya makanan baru diberikan jika Perut tidak kembung, Peristaltik usus normal, Flatus positif, dan Bowel movement positif
3. Mobilisasi
Biasanya pasien diposisikan untuk berbaring ditempat tidur agar keadaanya stabil. Biasanya posisi awal adalah terlentang, tapi juga harus tetap dilakukan perubahan posisi agar tidak terjadi dekubitus. Pasien yang menjalani pembedahan abdomen dianjurkan untuk melakukan ambulasi dini.
4. Pemenuhan kebutuhan eliminasi
a. Sistem Perkemihan.
Kontrol volunter fungsi perkemihan kembali setelah 6 – 8 jam post anesthesia inhalasi, IV, spinal.
b. Sistem Gastrointestinal.
1) 40 % klien dengan GA selama 24 jam pertama dapatMual muntah menyebabkan stress dan iritasi luka GI dan dapat meningkatkan TIK pada bedah kepala dan leher serta TIO meningkat.
2) Kaji fungsi gastro intestinal dengan auskultasi suara usus.
3) jumlah, warna, konsistensi isi lambung tiap 6 – 8 jam.
4) Insersi NG tube intra operatif mencegah komplikasi post operatif dengan decompresi dan drainase lambung.
c. Meningkatkan istirahat.
d. Memberi kesempatan penyembuhan pada GI trac bawah.
e. Memonitor perdarahan.
f. Mencegah obstruksi usus.
g. Irigasi atau pemberian obat.

K. Kriteria Evaluasi
Hasil yang diharapkan setelah perawatan pasien post operasi, meliputi;
1. Tidak timbul nyeri luka selama penyembuhan.
2. Luka insisi normal tanpa infeksi.
3. Tidak timbul komplikasi.
4. Pola eliminasi lancar.
5. Pasien tetap dalam tingkat optimal tanpa cacat.
6. Kehilangan berat badan minimal atau tetap normal.
7. Sebelum pulang, pasien mengetahui tentang :
a) Pengobatan lanjutan.
b) Jenis obat yang diberikan.
c) Diet.
d) Batas kegiatan dan rencana kegiatan di rumah.



























Asuhan Keperawatan pada pasien dengan Post Craniotomy SDH



A. PENGKAJIAN
Pengumpulan data klien baik subyektif atau obyektif pada gangguan sistem persarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada bentuk, lokasi, jenis injuri dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya. Data yang perlu didapati adalah sebagai berikut :

1. Identitas klien dan keluarga (penanggung jawab): nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa, status perkawinan, alamat, golongan darah, pengahasilan, hubungan klien dengan penanggung jawab.
2. Riwayat kesehatan :
Tingkat kesadaran/GCS (< 15), konvulsi, muntah, dispnea / takipnea, sakit kepala, wajah simetris / tidak, lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi sekret pada saluran napas, adanya liquor dari hidung dan telinga dan kejang.Riwayat penyakit dahulu haruslah diketahui baik yang berhubungan dengan sistem persarafan maupun penyakit sistem sistemik lainnya. demikian pula riwayat penyakit keluarga terutama yang mempunyai penyakit menular.
Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dari klien atau keluarga sebagai data subyektif. Data-data ini sangat berarti karena dapat mempengaruhi prognosa klien.
3. Pemeriksaan Fisik
Aspek neurologis yang dikaji adalah tingkat kesadaran, biasanya GCS < 15, disorientasi orang, tempat dan waktu. Adanya refleks babinski yang positif, perubahan nilai tanda-tanda vital kaku kuduk, hemiparese. Nervus cranialis dapat terganggu bila cedera kepala meluas sampai batang otak karena udema otak atau perdarahan otak juga mengkaji nervus I, II, III, V, VII, IX, XII.
a. BREATHING
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing ( kemungkinana karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada jalan napas.
b. BLOOD
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia).
c. BRAIN
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada nervus cranialis, maka dapat terjadi :
1) Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori).
2) Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia.
3) Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata.
4) Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
5) Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus vagus menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
6) Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.
d. BLADER
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia uri, ketidakmampuan menahan miksi.
e. BOWEL
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah (mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera. Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya proses eliminasi alvi.
f. BONE
Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat pula terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi karena rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus otot.
4. Pemeriksaan Penunjang
a. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) : mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri.
b. MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
c. Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
d. Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis.
e. X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.
f. BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil.
g. PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak.
h. CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
i. ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intracranial.
j. Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrkranial.
k. Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan kesadaran.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul adalah:
1. Tidak efektifnya pola napas sehubungan dengan efek anestesi.
2. Tidak efektifnya kebersihan jalan napas sehubungan dengan penumpukan sputum.
3. Resiko tinggi terhadap infeksi b.d jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif. Penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh.
4. Keterbatasan aktifitas sehubungan dengan penurunan kesadaran (soporos - coma).
5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan luka insisi.

C. INTERVENSI
1. Tidak efektifnya pola napas sehubungan dengan efek anestesi
Tujuan :
Mempertahankan pola napas yang efektif melalui ventilator.
Kriteria evaluasi :
Penggunaan otot bantu napas tidak ada, sianosis tidak ada atau tanda-tanda hipoksia tidak ada dan gas darah dalam batas-batas normal.
Rencana tindakan :
a. Hitung pernapasan pasien dalam satu menit. pernapasan yang cepat dari pasien dapat menimbulkan alkalosis respiratori dan pernapasan lambat meningkatkan tekanan Pa Co2 dan menyebabkan asidosis respiratorik.
b. Cek pemasangan tube, untuk memberikan ventilasi yang adekuat dalam pemberian tidal volume.
c. Observasi ratio inspirasi dan ekspirasi pada fase ekspirasi biasanya 2 x lebih panjang dari inspirasi, tapi dapat lebih panjang sebagai kompensasi terperangkapnya udara terhadap gangguan pertukaran gas.
d. Perhatikan kelembaban dan suhu pasien keadaan dehidrasi dapat mengeringkan sekresi / cairan paru sehingga menjadi kental dan meningkatkan resiko infeksi.
e. Cek selang ventilator setiap waktu (15 menit), adanya obstruksi dapat menimbulkan tidak adekuatnya pengaliran volume dan menimbulkan penyebaran udara yang tidak adekuat.
f. Siapkan ambu bag tetap berada di dekat pasien, membantu membarikan ventilasi yang adekuat bila ada gangguan pada ventilator.



2. Tidak efektifnya kebersihan jalan napas sehubungan dengan penumpukan sputum.
Tujuan :
Mempertahankan jalan napas dan mencegah aspirasi
Kriteria Evaluasi :
Suara napas bersih, tidak terdapat suara sekret pada selang dan bunyi alarm karena peninggian suara mesin, sianosis tidak ada.
Rencana tindakan :
a. Kaji dengan ketat (tiap 15 menit) kelancaran jalan napas. Obstruksi dapat disebabkan pengumpulan sputum, perdarahan, bronchospasme atau masalah terhadap tube.
b. Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi dada (tiap 1 jam ). Pergerakan yang simetris dan suara napas yang bersih indikasi pemasangan tube yang tepat dan tidak adanya penumpukan sputum.
c. Lakukan pengisapan lendir dengan waktu kurang dari 15 detik bila sputum banyak. Pengisapan lendir tidak selalu rutin dan waktu harus dibatasi untuk mencegah hipoksia.
d. Lakukan fisioterapi dada setiap 2 jam. Meningkatkan ventilasi untuk semua bagian paru dan memberikan kelancaran aliran serta pelepasan sputum.
3. Resiko tinggi terhadap infeksi b.d jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif.
Tujuan:
Mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda infeksi.
Kriteria evaluasi:
Mencapai penyembuhan luka tepat waktu
a. Berikan perawatan aseptik dan antiseptik, pertahankan tehnik cuci tangan yang baik.
b. Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan, daerah yang terpasang alat invasi, catat karakteristik dari drainase dan adanya inflamasi.
c. Pantau suhu tubuh secara teratur, catat adanya demam, menggigil, diaforesis dan perubahan fungsi mental (penurunan kesadaran).
d. Anjurkan untuk melakukan napas dalam, latihan pengeluaran sekret paru secara terus menerus. Observasi karakteristik sputum.
e. Berikan antibiotik sesuai indikasi

4. Keterbatasan aktifitas sehubungan dengan penurunan kesadaran (soporos - coma )
Tujuan :
Kebutuhan dasar pasien dapat terpenuhi secara adekuat.
Kriteria hasil :
Kebersihan terjaga, kebersihan lingkungan terjaga, nutrisi terpenuhi sesuai dengan kebutuhan, oksigen adekuat.
Rencana Tindakan :
a. Berikan penjelasan tiap kali melakukan tindakan pada pasien.
Penjelasan dapat mengurangi kecemasan dan meningkatkan kerja sama yang dilakukan pada pasien dengan kesadaran penuh atau menurun.
b. Beri bantuan untuk memenuhi kebersihan diri.
Kebersihan perorangan, eliminasi, berpakaian, mandi, membersihkan mata dan kuku, mulut, telinga, merupakan kebutuhan dasar akan kenyamanan yang harus dijaga oleh perawat untuk meningkatkan rasa nyaman, mencegah infeksi dan keindahan.
c. Berikan bantuan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan.
Makanan dan minuman merupakan kebutuhan sehari-hari yang harus dipenuhi untuk menjaga kelangsungan perolehan energi. Diberikan sesuai dengan kebutuhan pasien baik jumlah, kalori, dan waktu.
d. Jelaskan pada keluarga tindakan yang dapat dilakukan untuk menjaga lingkungan yang aman dan bersih.
Keikutsertaan keluarga diperlukan untuk menjaga hubungan klien - keluarga. Penjelasan perlu agar keluarga dapat memahami peraturan yang ada di ruangan.
e. Berikan bantuan untuk memenuhi kebersihan dan keamanan lingkungan.
Lingkungan yang bersih dapat mencegah infeksi dan kecelakaan.

5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan luka insisi.
Tujuan :
Gangguan integritas kulit tidak terjadi
Rencana tindakan :
a. Kaji fungsi motorik dan sensorik pasien dan sirkulasi perifer untuk menetapkan kemungkinan terjadinya lecet pada kulit.
b. Kaji kulit pasien setiap 8 jam : palpasi pada daerah yang tertekan.
c. Berikan posisi dalam sikap anatomi dan gunakan tempat kaki untuk daerah yang menonjol.
d. Ganti posisi pasien setiap 2 jam
e. Pertahankan kebersihan dan kekeringan pasien : keadaan lembab akan memudahkan terjadinya kerusakan kulit.
f. Massage dengan lembut di atas daerah yang menonjol setiap 2 jam sekali.
g. Pertahankan alat-alat tenun tetap bersih dan tegang.
h. Kaji daerah kulit yang lecet untuk adanya eritema, keluar cairan setiap 8 jam.
i. Berikan perawatan kulit pada daerah yang rusak / lecet setiap 4 - 8 jam dengan menggunakan H2O2.



















DAFTAR PUSTAKA


Abdul Hafid (1989), Strategi Dasar Penanganan Cidera Otak. PKB Ilmu Bedah XI – Traumatologi , Surabaya.

Asikin Z (1991) Simposium Keperawatan Penderita Cedera Kepala. Panatalaksanaan Penderita dengan Alat Bantu Napas, Jakarta.

Brain Trauma Foundation, AANS, Joint Section of Neurotrauma and Critical Care. Guidelines for the management of severe head injury. J Neurotrauma. Nov 1996.

Brown CV, Weng J, Oh D, et al. Does routine serial computed tomography of the head influence management of traumatic brain injury? A prospective evaluation. J Trauma. Nov 2004.

Bullock MR, Chesnut R, Ghajar J, et al. Surgical management of acute subdural hematomas. Neurosurgery. Mar 2006.

Chesnut RM, Gautille T, Blunt BA, et al. The localizing value of asymmetry in pupillary size in severe head injury: relation to lesion type and location. Neurosurgery. May 1994.

Guilburd JN, Sviri GE. Role of dural fenestrations in acute subdural hematoma. J Neurosurg. Aug 2001.

Doenges M.E. (1989) Nursing Care Plan, Guidlines for Planning Patient Care (2 nd ed ). Philadelpia, F.A. Davis Company.

Hamilton MG, Frizzell JB, Tranmer BI. Chronic subdural hematoma: the role for craniotomy reevaluated. Neurosurgery. Jul 1993.

Harsono (1993) Kapita Selekta Neurologi, Gadjah Mada University Press.

Hlatky R, Valadka AB, Goodman JC, Robertson CS. Evolution of brain tissue injury after evacuation of acute traumatic subdural hematomas. Neurosurgery. Dec 2004.

Long; BC and Phipps WJ (1985) Essential of Medical Surgical Nursing : A Nursing Process Approach St. Louis. Cv. Mosby Company.

Sjamsuhidajat, R. Wim de Jong (1997), Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. EGC, Jakarta.

1 komentar: