tag:blogger.com,1999:blog-21709633001412876092024-02-08T10:58:46.651-08:00kumpulan askepAca.Erlind_Dolphinhttp://www.blogger.com/profile/04320514247346944932noreply@blogger.comBlogger4125tag:blogger.com,1999:blog-2170963300141287609.post-74757006487198262702011-03-08T19:52:00.003-08:002011-03-08T19:53:41.155-08:00ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN POST APPENDECTOMY ATAS INDIKASI APPENDICITIS PERFORASIKONSEP APPENDICITIS<br />
(USUS BUNTU)<br />
<br />
<br />
<br />
A. Pengertian<br />
<br />
Gambar 1. Anantomi Apendiks<br />
Menurut Smeltzer, Suzanne, C., 2001, Appendiks adalah ujung seperti jari-jari yang kecil panjangnya kira-kira 10 cm (4 inchi), melekat pada sekum tepat di bawah katup ileosekal Sedangkan menurut Mansjoer, 2000, Appendisitis adalah peradangan dari appendiks vermiformis, dan merupakan penyebab abdomen akut. Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia antara 10 sampai 30 tahun.<br />
Menurut Pierce dan Neil, 2007, Apendisitis adalah peradangan pada apendix vermiformis. Hampir 7% orang barat mengalami apendisitis dan sekitar 200.000 apendiktomi dilakukan di Amerika Serikat tiap tahunnya. Insidens semakin menurun pada 25 tahun terakhir, namun di negara berkembang justru semakin meningkat, kemungkinan disebabkan perubahan ekonomi dan gaya hidup (Lawrence, 2006). Menurut beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian dari Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai cacing (apendiks vermiformis) yang dapat mengakibatkan pernanahan dan merupakan penyebab abdomen akut.<br />
Menurut Smeltzer Suzanne, C., 2001, Apendektomi adalah pembedahan untuk mengangkat apendiks dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perforasi. <br />
<br />
B. Anatomi Fisiologi Appendiks <br />
Anatomi dan Fisiologi Appendiks merupakan organ yang kecil dan vestigial (organ yang tidak berfungsi) yang melekat sepertiga jari.Letak apendiks.<br />
a. Letak Appendiks <br />
Appendiks terletak di ujung sakrum kira-kira 2 cm di bawah anterior ileus saekum, bermuara di bagian posterior dan medial dari saekum. Pada pertemuan ketiga taenia yaitu: taenia anterior, medial dan posterior. Secara klinik appendiks terletak pada daerah Mc. Burney yaitu daerah 1/3 tengah garis yang menghubungkan sias kanan dengan pusat.<br />
b. Ukuran dan isi apendiks. <br />
Panjang apendiks rata-rata 6 – 9 cm. Lebar 0,3 – 0,7 cm. Isi 0,1 cc, cairan bersifat basa mengandung amilase dan musin.<br />
c. Posisi apendiks. <br />
Laterosekal: di lateral kolon asendens. Di daerah inguinal: membelok ke arah di dinding abdomen. Pelvis minor.<br />
Bila appendix terletak retrokolik, rasa nyeri terasa di daerah pinggang bagian bawah, bila terletak pelvical rasa nyeri dirasakan di hipogastrium atau di dalam pelvis, dan bila terletak retrocaecal bisa mengiritasi m. psoas. Pada pemeriksaan fisik, pasien terlihat pucat, adanya nyeri tekan, nyeri ketok, nyeri lepas, dan tahanan otot (defans muskuler). Iritasi pada psoas dan obturator menimbulkan nyeri panggul. Peristaltik di daerah appendix menurun. Pada rectal toucher, ada nyeri pada arah jam 10-11 merupakan petunjuk adanya perforasi (Subanada, dkk, 2007).<br />
<br />
C. Penyebab<br />
Penyebab Appendisitis paling umum adalah inflamasi akut pada kuadran bawah kanan dari rongga abdomen, penyebab ini paling umum untuk bedah abdomen darurat, kira-kira 7% dari populasi akan mengalami appendisitis pada waktu yang bersamaan dalam hidup mereka. Pria lebih sering dipengaruhi daripada wanita dan remaja lebih sering pada orang dewasa, meskipun ini dapat terjadi pada usia berapapun, appendisitis paling sering terjadi antara usia 10 dan 30 tahun.<br />
Menurut Irga, 2007, Terjadinya apendisitis akut umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri. Namun terdapat banyak sekali faktor pencetus terjadinya penyakit ini. Diantaranya obstruksi yang terjadi pada lumen apendiks. Obstruksi pada lumen apendiks ini biasanya disebabkan karena adanya timbunan tinja yang keras ( fekalit), hipeplasia jaringan limfoid, penyakit cacing, parasit, benda asing dalam tubuh, cancer primer dan striktur. Namun yang paling sering menyebabkan obstruksi lumen apendiks adalah fekalit dan hiperplasia jaringan limfoid. <br />
<br />
D. Tanda dan gejala<br />
Menurut Smeltzer, Suzanne, C, 2001, Tanda dan gejala yang muncul pada pasien dengan apendiksitis, antara lain :<br />
1. Nyeri kuadran bawah<br />
Nyeri tekan lokal pada titik Mc. Burney bila dilakukan tekanan. Nyeri tekan lepas mungkin akan dijumpai. Derajat nyeri tekan, spasme otot, dan apakah terdapat konstipasi atau diare tidak tergantung pada beratnya infeksi dan lokasi appendiks. Bila appendiks melingkar di belakang sekum, nyeri dan nyeri tekan dapat terasa di daerah lumbal ; bila ujungnya ada pada pelvis, tanda-tanda ini hanya dapat diketahui pada pemeriksaan rektal. Nyeri pada defekasi menunjukkan bahwa ujung appendiks dekat dengan kandung kemih atau ureter. Adanya kekeakuan pada bagian bawah otot rektum kanan dapat terjadi.<br />
2. Demam ringan<br />
3. Mual-muntah<br />
4. Hilangnya nafsu makan<br />
5. Nyeri tekan lokal pada titik mc Burney<br />
6. Nyeri tekan lepas (hasil atau intesifikasi dari nyeri bila tekanan dilepaskan)<br />
7. Tanda rovsing <br />
Tanda rovsing dapat timbul dengan melakukan palpasi kuadran bawah kiri yang secara paradoksimal menyebabkan nyeri yang terasa di kuadran kanan bawah. Apabila appendiks telah ruptur, nyeri dan dapat lebih menyebar ; distensi abdomen terjadi akibat ileus paralitikdan kondisi klien memburuk<br />
8. Distensi abdomen akibat ileus paralitik<br />
9. Kondisi pasien memburuk<br />
<br />
E. Klasifikasi Appendiks<br />
Klasifikasi apendisitis dibagi menjadi 2 yaitu :<br />
1. Apendisitis akut, dibagi atas: Apendisitis akut fokalis atau segmentalis, yaitu setelah sembuh akan timbul striktur lokal. Appendisitis purulenta difusi, yaitu sudah bertumpuk nanah.<br />
2. Apendisitis kronis, dibagi atas: Apendisitis kronis fokalis atau parsial, setelah sembuh akan timbul striktur lokal. Apendisitis kronis obliteritiva yaitu appendiks miring, biasanya ditemukan pada usia tua. <br />
<br />
F. Patofisiologi<br />
Apendisitis biasa disebabkan oleh adanya penyumbatan lumen apendiks oleh hyperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma.<br />
Feses yang terperangkap dalam lumen apendiks akan menyebabkan obstruksi dan akan mengalami penyerapan air dan terbentuklah fekolit yang akhirnya sebagai kausa sumbatan. Obstruksi yang terjadi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan. Makin lama mukus semakin banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan tersebut akan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri, dan ulserasi mukus. Pada saat ini terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium.<br />
Sumbatan sebabkan nyeri sikitar umbilicus dan epigastrium, nausea, muntah. invasi kuman E Coli dan spesibakteroides dari lumen ke lapisan mukosa, submukosa, lapisan muskularisa, dan akhirnya ke peritoneum parietalis terjadilah peritonitis lokal kanan bawah. Suhu tubuh mulai naik.<br />
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di area kanan bawah. Keadaan ini yang kemudian disebut dengan apendisitis supuratif akut.<br />
Bila kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh pecah, akan menyebabkan apendisitis perforasi.<br />
Bila proses tersebut berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan akan bergerak ke arah apendiks hingga timbul suatu massa lokal yang disebut infiltrate apendikularis. Peradangan apendiks tersebut akan menyebabkan abses atau bahkan menghilang.<br />
Pada anak-anak karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih panjang, dinding apendiks lebih tipis. Keadaan demikian ditambah dengan daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi. Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan pembuluh darah.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Idiopatik makan tak teratur Kerja fisik yang keras<br />
<br />
Massa keras feses<br />
<br />
Obstruksi lumen<br />
<br />
Suplay aliran darah menurun <br />
Mukosa terkikis<br />
<br />
<br />
• Perforasi Peradangan pada appendiks distensi abdomen<br />
• Abses<br />
• Peritonitis Nyeri<br />
Menekan gaster<br />
<br />
Appendiktomy pembatasan intake cairan peningk prod HCL <br />
<br />
Insisi bedah mual, muntah<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Sumber :<br />
- Smeltzer, Suzzane, C (2001)<br />
- Mansjoer (2000)<br />
<br />
<br />
<br />
G. Komplikasi Apendisitis<br />
Adapun tahapan peradangan apendisitis, antara lain :<br />
1. Apendisitis akuta (sederhana, tanpa perforasi)<br />
2. Apendisitis akuta perforate ( termasuk apendisitis gangrenosa, karena dinding apendiks sebenarnya sudah terjadi mikroperforasi).<br />
Beberapa komplikasi Appendiksitis yang dapat terjadi adalah<br />
1. Perforasi<br />
Keterlambatan penanganan merupakan alasan penting terjadinya perforasi. Perforasi appendix akan mengakibatkan peritonitis purulenta yang ditandai dengan demam tinggi, nyeri makin hebat meliputi seluruh perut dan perut menjadi tegang dan kembung. Nyeri tekan dan defans muskuler di seluruh perut, peristaltik usus menurun sampai menghilang karena ileus paralitik (Syamsuhidajat, 1997).<br />
Apendisitis adalah penyakit yang jarang mereda dengan spontan, tetapi peyakit ini tidak dapat diramalkan dan mempunyai kecenderungan menjadi progresif dan mengalami perforasi. Karena perforasi jarang terjadi dalam 8 jam pertama, observasi aman untuk dilakukan dalam masa tersebut.<br />
Tanda-tanda perforasi meliputi meningkatnya nyeri, spasme otot dinding perut kuadran kanan bawah dengan tanda peritonitis umum atau abses yang terlokalisasi, ileus, demam, malaise, leukositosis semakin jelas. Bila perforasi dengan peritonitis umum atau pembentukan abses telah terjadi sejak klien pertam akali datang, diagnosis dapat ditegakkan dengan pasti.<br />
Bila terjadi peritonitis umum terapi spesifik yang dilakukan adalah operasi untuk menutup asal perforasi. Sedangkan tindakan lain sebagai penunjang : tirah baring dalam posisi fowler medium, pemasangan NGT, puasa, koreksi cairan dan elektrolit, pemberian penenang, pemberian antibiotik berspektrum luas dilanjutkan dengan pemberian antibiotik yang sesuai dengan kultur, transfusi utnuk mengatasi anemia, dan penanganan syok septik secara intensif, bila ada.<br />
Bila terbentuk abses apendiks akan teraba massa di kuadran kanan bawah yang cenderung menggelembung ke arah rektum atau vagina. Terapi dini dapat diberikan kombinasi antibiotik (misalnya ampisilin, gentamisin, metronidazol, atau klindamisin). Dengan sediaan ini abses akan segera menghilang, dan apendiktomi dapat dilakaukan 6-12 minggu kemudian. Pada abses yang tetap progresif harus segera dilakuakn drainase. Abses daerah pelvis yang menonjol ke arah rektum atau vagina dengan fruktuasi positif juga perlu dibuatkan drainase.<br />
Tromboflebitis supuratif dari sistem portal jarang terjadi tetapi merupakan komplikasi yang letal. Hal ini harus dicurigai bila ditemukan demam sepsis, menggigil, hepatomegali, dan ikterus setelah terjadi perforasi apendiks. Pada keadaan ini diindikasikan pemberian antibiotik kombinasi dengan drainase. Komplikasi lain yang terjadi ialah abses subfrenikus dan fokal sepsis intraabdominal lain. Obstruksi intestinal juga dapat terjadi akibat perlengketan.<br />
2. Peritonitis<br />
Peradangan peritoneum merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Keadaan ini biasanya terjadi akibat penyebaran infeksi dari apendisitis. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis generalisata. Dengan begitu, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang ke dalam lumen usus menyebabkan dehidrasi, gangguan sirkulasi, oligouria, dan mungkin syok. Gejala : demam, lekositosis, nyeri abdomen, muntah, Abdomen tegang, kaku, nyeri tekan, dan bunyi usus menghilang (Price dan Wilson, 2006).<br />
3. Massa Periapendikuler<br />
Hal ini terjadi bila apendisitis gangrenosa atau mikroperforasi ditutupi pendindingan oleh omentum. Umumnya massa apendix terbentuk pada hari ke-4 sejak peradangan mulai apabila tidak terjadi peritonitis generalisata. Massa apendix dengan proses radang yang masih aktif ditandai dengan keadaan umum masih terlihat sakit, suhu masih tinggi, terdapat tanda-tanda peritonitis, lekositosis, dan pergeseran ke kiri. Massa apendix dengan proses meradang telah mereda ditandai dengan keadaan umum telah membaik, suhu tidak tinggi lagi, tidak ada tanda peritonitis, teraba massa berbatas tegas dengan nyeri tekan ringan, lekosit dan netrofil normal (Ahmadsyah dan Kartono, 1995).<br />
<br />
H. Pemeriksaan Penunjang Appendiks<br />
Akan terjadi leukositosis ringan (10.00 – 20.000/ml) dengan peningkatan jumlah neutrofil. Pemeriksaan urin juga perlu dilakukan untuk membedakannya dengan kelainan pada ginjal dan saluran kemih.<br />
Pada kasus akut tidak diperbolehkan melakuakn barium enema, sedangkan pada apendisitis kronis tindakan ini dibenarkan. Pemeriksaan USG dilakukan bila telah terjadi infiltrat apendikularis.<br />
1. Pemeriksaan Fisik<br />
a. Pemeriksaan Asites<br />
Cairan asitas akan mengalir sesuai dengan gravivasi, sedangkan gas atau udara akan mengapung di atas, perkusi akan menghasilkan pola suara perkusi yang khas. Tandailah batas antara daerah timpani dan redup.<br />
1) Tes suara redup berpindah<br />
Setelah menandai batas suara timpani dan redup, penderita diminta untuk miring ke salah satu sisi tubuhnya, lakukanlah perkusi lagi dan amatilah batas timpani dan redup. Pada penderita tanpa arites batas ini tidak berubah dengan perubahan posisi.<br />
2) Tes undulasi<br />
Mintalah penderita untuk menekan kedua tangan pada midline dari abdomennya, kemudian ketuklah satu sisi abdomen dengan ujung jari anda, dan katakan pada sisi yang lain dengan tangan anda yang adanya getaran yang diteruskan oleh cairan asiter.<br />
<br />
b. Tes untuk Apendisitis<br />
Tes untuk Apendisitis, antara lain :<br />
1) Penderita diminta untuk menunjukkan tempat yang mula-mula dan tempat yang sekarang terasa sakit. Penderita diminta untuk batuk. Amati apakah timbul rasa sakit. Rasa sakit pada apendisitis khas mulai pada daerah sekitar umbilikus dan kemudian bergeser ke kanan bawah dan terasa sakit pada waktu batuk.<br />
2) Mencari dengan teliti daerah nyeri tekan. Rasa sakit di daerah kuadran kanan bawah mungkin menunjukkan appendisitis.<br />
3) Merasakan adanya spasme otot.<br />
4) Melakukan pemeriksaan rektal. Pemeriksaan ini dapat membedakan apendiks normal dengan yang meradang. Rasa sakit pada kuadran kanan bawah mungkin berarti peradangan pada adnexa, vesicula seminalis atau apendiks.<br />
2. Pemeriksaan diagnostik <br />
Untuk menegakkan diagnosa pada apendisitis didasarkan atas anamnese ditambah dengan pemeriksaan laboratorium serta pemeriksaan penunjang lainnya. Gejala apendisitis ditegakkan dengan anamnese, ada 4 hal yang penting adalah: Nyeri mula-mula di epigastrium (nyeri viseral) yang beberapa waktu kemudian menjalar ke perut kanan bawah. Muntah oleh karena nyeri viseral. Panas (karena kuman yang menetap di dinding usus).<br />
Gejala lain adalah badan lemah dan kurang nafsu makan, penderita nampak sakit, menghindarkan pergerakan, di perut terasa nyeri.<br />
3. Pemeriksaan yang lain Lokalisasi.<br />
Jika sudah terjadi perforasi, nyeri akan terjadi pada seluruh perut, tetapi paling terasa nyeri pada daerah titik Mc. Burney. Jika sudah infiltrat, lokal infeksi juga terjadi jika orang dapat menahan sakit, dan kita akan merasakan seperti ada tumor di titik Mc. Burney. <br />
4. Test rektal.<br />
Pada pemeriksaan rektal toucher akan teraba benjolan dan penderita merasa nyeri pada daerah prolitotomi.<br />
5. Pemeriksaan laboratorium <br />
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan leukosit meningkat sebagai respon fisiologis untuk melindungi tubuh terhadap mikroorganisme yang menyerang. Pada apendisitis akut dan perforasi akan terjadi lekositosis yang lebih tinggi lagi. Hb (hemoglobin) nampak normal. Laju endap darah (LED) meningkat pada keadaan apendisitis infiltrat. Urine rutin penting untuk melihat apa ada infeksi pada ginjal. <br />
6. Pemeriksaan radiologi<br />
Pada pemeriksaan radiologi didapatkan :<br />
a. Foto polos abdomen dikerjakan apabila hasil pemeriksaan riwayat sakit dan pemeriksaan fisik meragukan.<br />
b. Tanda-tanda peritonitis kuadran kanan bawah. Gambaran perselubungan mungkin terlihat “ileal atau caecal ileus” (gambaran garis permukaan cairan udara di sekum atau ileum)<br />
c. Patognomonik bila terlihat gambaran fekolit.<br />
d. Foto polos pada apendisitis perforasi:<br />
1) Gambaran perselubungan lebih jelas dan dapat tidak terbatas di kuadran kanan bawah.<br />
2) Penebalan dinding usus sekitar letak apendiks, seperti sekum dan ileum.<br />
3) Garis lemak pra peritoneal menghilang.<br />
4) Scoliosis ke kanan.<br />
5) Tanda-tanda obstruksi usus seperti garis-garis permukaan cairan-cairan akibat paralysis usus-usus lokal di daerah proses interaksi.<br />
<br />
I. Pencegahan<br />
Sering makan makanan berserat dan menjaga kebersihan.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
J. Penatalaksanaan<br />
Pembedahan diindikasikan bila diagnosa appendisitis telah diteteskan antibiotik dan cairan IV diberikan sampai pembedahan dilakukan. Analgetik dapat diberikan setelah diagnosa ditegakkan.<br />
Apendektomi (pembedahan untuk mengangkat apendiks) dilakukan sesegera mungkin untuk menurunkan resiko perferasi. Appendiktomi dapat dilakukan di bawah anestesi umum atau spinal dengan inersi abdomen bawah atau dengan laparoskopi, yang merupakan metode terbaru yang sangat efektif.<br />
Komplikasi-komplikasi utama appendisitis adalah terforasi appendiks, yang dapat berkembang menjadi peritonitis atau abses mirdensperforasi adalah 10%-32% insiden lebih tinggi pada anak kecil dan lansia. Perforasi secara umum terjadi 24 jam setelah awitan nyeri. Gejala mencakup demam dengan suhu 37,70C atau lebih tinggi, penampilan toksikdan nyeri atau nyeri tekan abdomen yang kontinyu.<br />
Intervensi keperawatan, tujuan keperawatan mencakup menghilangkan nyeri, mencegah kekurangan volume cairan, mengurangi ansietas, menghilangkan infeksi karena potensial atau gangguan aktual saluran gas traintestinal, mempertahankan integritas kulit dan mendapatkan nutrisi yang optimum.<br />
Pada praoperatif, perawat menyiapkan pasien untuk pembedahan, infus intravena digunakan untuk meningkatkan fungsi ginjal adekuat dan menggantikan cairan lain yang telah hilang. Aspirin dapat diberikan untuk mencegah infeksi. Apabila terdapat bukti atau kemungkinan terjadi nasogastrik dapat dipasang. Enema tidak diberikan karena dapat menimbulkan perforasi.<br />
Pada pascaoperatif, pasien ditempatkan pada posisi semi foluler. Posisi ini mengurangi tegangan pada inersi dan organ abdomen yang membantu mengurangi nyeri oproid biasanya sulfat morfin diberikan untuk menghilangkan nyeri. Cairan per oral biasanya diberikan bila mereka dapat mentoleransi pasien yang mengalmai dehidrasi sebelum pembedahan diberikan cairan secara intravena. Makanan dapat diberikan sesuai keinginan pada hall pembedahan bila dapat ditoleransi.<br />
<br />
K. Pembedahan<br />
Pembedahan dikerjakan bila rehidrasi dan usaha penurunan suhu tubuh telah tercapai. Suhu tubuh tidak melebihi 38oC, produksi urin berkisar 1-2 ml/kg/jam. nadi di bawah 120/menit.<br />
1. Teknik pembedahan.<br />
Insisi transversal di sebelah kanan sedikit di bawah umbilicus. Sayatan Fowler Weier lebih dipilih, karena cepat dapat mencapai rongga abdomen dan bila diperlukan sayatan dapat diperlebar ke medial dengan memotong fasi dan otot rectum.<br />
Sebelum membuka peritoneum tepi sayatan diamankan dengan kasa. Membuka peritoneum sedikit dahulu dan alat hisap telah disiapkan sedemikian rupa hingga nanah dapat langsung terisap tanpa kontaminasi ke tepi sayatan. Sayatan peritoneum diperlebar dan penghisapan nanah diteruskan. Apendektomi dikerjakan seperti biasa. Pencucian rongga peitonium mutlak dikerjakan dengan larutan NaCl fisiologis sampai benar-benar bersih.<br />
Cairan yang dimasukkan terlihat jerih sewaktu dihisap kembali. Pengumpulan nanah biasa ditemukan di fosa apendiks, rongga pelvis, di bawah diafragma dan diantara usus-usus. Luka sayatan dicuci dengan larutan NaCl fisiologis juga setelah peritonium dan lapisan fasia yang menempel peritonium dan sebagian otot dijahit. Penjahitan luka sayatan jangan dilakukan terlalu kuat dan rapat.<br />
Pemasangan dren intraperitoneal masih merupakan kontroversi. Bila pencucian rongga peritonium benar-benar bersih dren tidak diperlukan. Lebih baik dicuci bersih tanpa dren daripada dicuci kurang bersih dipasang dren.<br />
Catatan<br />
Infiltrat radang apendiks yang penyebarannya dapat dibatasi oelh omentum dan usus-usus dan peritonium di sekitarnya sehingga membentuk massa (appendiceal mass). Umumnya massa apendiks terbentuk pada hari ke-4 sejak peradangan dimulai apabila tidak terjadi peritonitis umum. Massa apendiks lebih sering dijumpai pada pasien berumur 5 tahun atau lebih; daya tahan tubuh telah berkembang dengan baik dan omentum telah cukup panjang dan tebal untuk membungkus proses radang.<br />
<br />
L. Terapi Apendisitis Perforasi<br />
Persiapan prabedah : Pemasangan sonde lambung dan tindakan dekompresi. Rehidrasi. penurunan suhu tubuh. Antibiotic dengan spectrum luas, dosis cukup, diberikan secara intravena. Apendisitis dengan penyulit peritonitis umum. Umumnya klien dalam kondisi buruk. Tampak septis dan dalam kondisi hipovolemik serta hipertensi. Hipovolemik akibat puasa lama, muntah dan pemusatan cairan di daerah proses radang, seperti udem organ intraperitoneal, dinding abdomen dan pengumpulan cairan dalam rongga usus dan rongga peritoneal.<br />
Persiapan prabedah adalah<br />
1. Pemasangan sonde lambung untuk dekompresi.<br />
2. Pemasangan kateter untuk control produksi urin.<br />
3. Rehidrasi.<br />
4. Antibiotic dengan spectrum luas, dosis tinggi dan diberikan secara intravena.<br />
5. Obat-obatan penurun panas, phenergan sebagai anti menggigil, largaktil untuk membuka pembuluh – pembuluh darah perifer diberikan setelah rehidrasi tercapai.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN<br />
POST APPENDECTOMY ATAS INDIKASI<br />
APPENDICITIS PERFORASI<br />
<br />
<br />
<br />
Menurut Doengoes, 1999<br />
1. Pengkajian<br />
a. Identitas klien<br />
b. Riwayat Keperawatan<br />
1) riwayat kesehatan saat ini ; keluhan nyeri pada luka post operasi apendektomi, mual muntah, peningkatan suhu tubuh, peningkatan leukosit.<br />
2) Riwayat kesehatan masa lalu<br />
3) pemeriksaan fisik<br />
a) Sistem kardiovaskuler : Untuk mengetahui tanda-tanda vital, ada tidaknya distensi vena jugularis, pucat, edema, dan kelainan bunyi jantung.<br />
b) Sistem hematologi : Untuk mengetahui ada tidaknya peningkatan leukosit yang merupakan tanda adanya infeksi dan pendarahan, mimisan splenomegali.<br />
c) Sistem urogenital : Ada tidaknya ketegangan kandung kemih dan keluhan sakit pinggang.<br />
d) Sistem muskuloskeletal : Untuk mengetahui ada tidaknya kesulitan dalam pergerakkan, sakit pada tulang, sendi dan terdapat fraktur atau tidak.<br />
e) Sistem kekebalan tubuh : Untuk mengetahui ada tidaknya pembesaran kelenjar getah bening.<br />
Dasar data pengkajian pasien<br />
a. Aktivitas atau istirahat<br />
Gejala : Malaise<br />
b. Sirkulasi<br />
Tanda : Takikardia<br />
c. Eliminasi<br />
Gejala : Konstipasi pada awitan awal<br />
Diare (kadang-kadang)<br />
Tanda : Distensi abdomen, nyeri tekan / nyeri lepas, kekakuan, penurunan atau tidak ada bising usus<br />
d. Makanan / cairan<br />
Gejala : Anoreksia<br />
Mual / muntah<br />
e. Nyeri kenyamanan<br />
Gejala : Nyeri abdomen sekitar epigastrium dan umbilikus, yang meningkat berat dan terlokalisasi pada titik Mc. Burney.<br />
Mc. Burney (setengah jarak antara umbilikus dan tulang ileum kanan), meningkat karena berjalan, bersin, batuk, atau nafas dalam (nyeri berhenti tiba-tiba di duga perforasi atau infark pada appendiks) keluhan berbagai rasa nyeri atau gejala tidak jelas (sehubungan dengan lokasi appendiks, contoh retrosekal atau sebelah ureter).<br />
Tanda : Perilaku berhati-hati, berbaring ke samping atau telentang dengan lutut ditekuk, meningkatnya nyeri pada kuadran kanan bawah karena posisi ekstensi kaki kanan atau posisi duduk tegak<br />
Nyeri lepas pada sisi kiri di duga inflamasi peritoneal.<br />
f. Keamanan<br />
Tanda : Demam (biasanya rendah)<br />
g. Pernafasan <br />
Tanda : Takipnea, pernafasan dangkal<br />
<br />
<br />
<br />
2. Diagnosa keperawatan<br />
a. Infeksi, resiko tinggi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan utama, perforasi atau ruptur pada apendiks, peritonitis, pembentukan abses.<br />
b. Kekurangan volume cairan, berhubungan dengan muntah pra operasi, pembatasan pasca operasi.<br />
c. Nyeri (akut) berhubungan dengan adanya insisi bedah.<br />
d. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan intake menurun. Nafsu makan menurun Berat badan menurun Porsi makan tidak dihabiskan Ada rasa mual muntah.<br />
e. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan yang dirasakan.<br />
f. Kurang pengetahuan berhubungan dengan perjalanan penyakit.<br />
<br />
3. Intervensi keperawatan<br />
a. Resiko terjadinya infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan tubuh, ditandai dengan : Suhu tubuh di atas normal. Frekuensi pernapasan meningkat. Distensi abdomen. Nyeri tekan daerah titik Mc. Burney Leuco > 10.000/mm3.<br />
Tujuan : Tidak akan terjadi infeksi dengan kriteria : Tidak ada tanda-tanda infeksi post operatif (tidak lagi panas, kemerahan). <br />
Intervensi : <br />
1) Bersihkan lapangan operasi dari beberapa organisme yang mungkin ada melalui prinsip-prinsip pencukuran.<br />
Rasional : Pengukuran dengan arah yang berlawanan tumbuhnya rambut akan mencapai ke dasar rambut, sehingga benar-benar bersih dapat terhindar dari pertumbuhan mikro organisme.<br />
2) Beri obat pencahar sehari sebelum operasi dan dengan melakukan klisma.<br />
Rasional : Obat pencahar dapat merangsang peristaltic usus sehingga bab dapat lancar. Sedangkan klisma dapat merangsang peristaltic yang lebih tinggi, sehingga dapat mengakibatkan ruptura apendiks.<br />
3) Anjurkan klien mandi dengan sempurna.<br />
Rasional : Kulit yang bersih mempunyai arti yang besar terhadap timbulnya mikro organisme.<br />
4) HE tentang pentingnya kebersihan diri klien.<br />
Rasional : Dengan pemahaman klien, klien dapat bekerja sama dalam pelaksaan tindakan. <br />
b. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan adanya rasa mual dan muntah, ditandai dengan : Kadang-kadang diare. Distensi abdomen. Tegang. Nafsu makan berkurang. Ada rasa mual dan muntah. <br />
Tujuan : Mempertahankan keseimbangan volume cairan dengan kriteria : Klien tidak diare. Nafsu makan baik. Klien tidak mual dan muntah. <br />
Intervensi : <br />
1) Monitor tanda-tanda vital.<br />
Rasional : Merupakan indicator secara dini tentang hypovolemia.<br />
2) Monitor intake dan out put dan konsentrasi urine.<br />
Rasional : Menurunnya out put dan konsentrasi urine akan meningkatkan kepekaan/endapan sebagai salah satu kesan adanya dehidrasi dan membutuhkan peningkatan cairan.<br />
3) Beri cairan sedikit demi sedikit tapi sering.<br />
Rasional : Untuk meminimalkan hilangnya cairan. <br />
c. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan distensi jaringan intestinal, ditandai dengan : Pernapasan tachipnea. Sirkulasi tachicardia. Sakit di daerah epigastrum menjalar ke daerah Mc. Burney Gelisah. Klien mengeluh rasa sakit pada perut bagian kanan bawah.<br />
Tujuan : Rasa nyeri akan teratasi dengan kriteria : Pernapasan normal. Sirkulasi normal.<br />
Intervensi : <br />
1) Kaji tingkat nyeri, lokasi dan karasteristik nyeri.<br />
Rasional : Untuk mengetahui sejauh mana tingkat nyeri dan merupakan indiaktor secara dini untuk dapat memberikan tindakan selanjutnya.<br />
2) Anjurkan pernapasan dalam.<br />
Rasional : Pernapasan yang dalam dapat menghirup O2 secara adekuat sehingga otot-otot menjadi relaksasi sehingga dapat mengurangi rasa nyeri.<br />
3) Lakukan gate control.<br />
Rasional : Dengan gate control saraf yang berdiameter besar merangsang saraf yang berdiameter kecil sehingga rangsangan nyeri tidak diteruskan ke hypothalamus.<br />
4) Beri analgetik.<br />
Rasional : Sebagai profilaksis untuk dapat menghilangkan rasa nyeri (apabila sudah mengetahui gejala pasti).<br />
d. Kurangnya pengetahuan tentang proses penyakitnya berhubungan dengan informasi kurang. Gelisah. Wajah murung. Klien sering menanyakan tentang penyakitnya. Klien mengeluh rasa sakit. Klien mengeluh sulit tidur. <br />
Tujuan : Klien akan memahami manfaat perawatan post operatif dan pengobatannya. <br />
Intervensi : <br />
1) Jelaskan pada klien tentang latihan-latihan yang akan digunakan setelah operasi.<br />
Rasional : Klien dapat memahami dan dapat merencanakan serta dapat melaksanakan setelah operasi, sehingga dapat mengembalikan fungsi-fungsi optimal alat-alat tubuh. <br />
2) Anjurkan aktivitas yang progresif dan sabar menghadapi periode istirahat setelah operasi. <br />
Rasional : Mencegah luka baring dan dapat mempercepat penyembuhan.<br />
3) Diskusikan kebersihan insisi yang meliputi pergantian verband, pembatasan mandi, dan penyembuhan latihan.<br />
Rasional : Mengerti dan mau bekerja sama melalui teraupeutik dapat mempercepat proses penyembuhan.<br />
e. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan intake menurun. Nafsu makan menurun Berat badan menurun Porsi makan tidak dihabiskan Ada rasa mual muntah. <br />
Tujuan : klien mampu merawat diri sendiri <br />
Intervensi : <br />
1) Kaji sejauh mana ketidakadekuatan nutrisi klien<br />
Rasional : menganalisa penyebab melaksanakan intervensi.<br />
2) Perkirakan / hitung pemasukan kalori, jaga komentar tentang nafsu makan sampai minimal<br />
Rasional : Mengidentifikasi kekurangan / kebutuhan nutrisi berfokus pada masalah membuat suasana negatif dan mempengaruhi masukan.<br />
3) Timbang berat badan sesuai indikasi<br />
Rasional : Mengawasi keefektifan secara diet.<br />
4) Beri makan sedikit tapi sering<br />
Rasional : Tidak memberi rasa bosan dan pemasukan nutrisi dapat ditingkatkan.<br />
5) Anjurkan kebersihan oral sebelum makan<br />
Rasional : Mulut yang bersih meningkatkan nafsu makan.<br />
6) Tawarkan minum saat makan bila toleran.<br />
Rasional : Dapat mengurangi mual dan menghilangkan gas.<br />
7) Konsul tetang kesukaan/ketidaksukaan pasien yang menyebabkan distres.<br />
Rasional : Melibatkan pasien dalam perencanaan, memampukan pasien memiliki rasa kontrol dan mendorong untuk makan.<br />
8) Memberi makanan yang bervariasi<br />
Rasional : Makanan yang bervariasi dapat meningkatkan nafsu makan klien. <br />
<br />
<br />
f. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan yang dirasakan. Kuku nampak kotor Kulit kepala kotor Klien nampak kotor<br />
Tujuan : klien mampu merawat diri sendiri <br />
Intervensi : <br />
1) Mandikan pasien setiap hari sampai klien mampu melaksanakan sendiri serta cuci rambut dan potong kuku klien.<br />
Rasional : Agar badan menjadi segar, melancarkan peredaran darah dan meningkatkan kesehatan.<br />
2) Ganti pakaian yang kotor dengan yang bersih.<br />
Rasional : Untuk melindungi klien dari kuman dan meningkatkan rasa nyaman.<br />
3) Berikan HE pada klien dan keluarganya tentang pentingnya kebersihan diri.<br />
Rasional : Agar klien dan keluarga dapat termotivasi untuk menjaga personal hygiene. <br />
4) Berikan pujian pada klien tentang kebersihannya.<br />
Rasional : Agar klien merasa tersanjung dan lebih kooperatif dalam kebersihan.<br />
5) Bimbing keluarga / istri klien memandikan<br />
Rasional : Agar keterampilan dapat diterapkan.<br />
6) Bersihkan dan atur posisi serta tempat tidur klien.<br />
Rasional : Klien merasa nyaman dengan tenun yang bersih serta mencegah terjadinya infeksi. <br />
<br />
4. Implementasi <br />
Pelaksanaan adalah pemberian asuhan keperawatan secara nyata berupa serangkaian kegiatan sistimatis berdasarkan perencanaan untuk mencapai hasil yang optimal. Pada tahap ini perawat menggunakan segala kemampuan yang dimiliki dalam melaksanakan tindakan keperawatan terhadap klien baik secara umum maupun secara khusus pada klien post apendektomi. Pada pelaksanaan ini perawat melakukan fungsinya secara independen, interdependen dan dependen.<br />
Pada fungsi independen adalah mencakup dari semua kegiatan yang diprakarsai oleh perawat itu sendiri sesuai dengan kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya Pada fungsi interdependen adalah dimana fungsi yang dilakukan dengan bekerja sama dengan profesi/disiplin ilmu yang lain dalam keperawatan maupun pelayanan kesehatan, sedangkan fungsi dependen adalah fungsi yang dilaksanakan oleh perawat berdasarkan atas pesan orang lain. <br />
<br />
5. Evaluasi <br />
Untuk mengetahui pencapaian tujuan dalam asuhan keperawatan yang telah dilakukan pada klien perlu dilakukan evaluasi dengan mengajukan pertanyaan sebagai berikut : Apakah klien dapat mempertahankan keseimbangan cairan dalam tubuh?. Apakah klien dapat terhidar dari bahaya infeksi?. Apakah rasa nyeri akan dapat teratasi?. Apakah klien sudah mendapat informasi tentang perawatan dan pengobatannya. <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
LAMPIRAN<br />
PEMERIKSAAN ABDOMEN<br />
<br />
<br />
Cara Pemeriksaan<br />
Syarat-syarat pemeriksaan abdomen yang baik adalah :<br />
1. Penerangan ruangan yang memadai.<br />
2. Penderita dalam keadaan relaks.<br />
3. Daerah abdomen mulai dari atas prosessus xiphoideus sampai sympisis pubis harus terbuka.<br />
Untuk memudahkan relaksasi:<br />
1. Kandung kencing harus kosong.<br />
2. Penderita berbaring telentang dengan bantal di bawah kepalanya dan di bawah lututnya.<br />
3. Kedua lengan diletakkan di samping badan, atau diletakkan menyilang pada dada. Tangan yang diletakkan di atas kepala akan membuat dinding abdomen terenggang dan mengeras, sehingga menyulitkan palpasi.<br />
4. Menggunakan tangan yang hangat, permukaan stetoskop yang hangat dan kuku yang dipotong pendek. Menggosokkan kedua tangan akan membantu menghangatkan tangan anda.<br />
5. Meminta kepada penderita untuk menunjukkan daerah yang terasa sakit dan memeriksa tersebut terakhir.<br />
6. Melakukan pemeriksaan dengan perlahan, menghindarkan gerakan yang cepat dan tiba-tiba.<br />
7. Apabila perlu, mengajak penderita berbicara.<br />
8. Apabila penderita amat ketakutan atau kegelian, memulai dengan pemeriksaan dengan menggenggam kedua tangannya di bawah tangan anda, kemudian secara pelan-pelan bergeser untuk melakukan palpasi.<br />
9. Memonitor pemeriksaan anda dengan memperhatikan muka/ekspresi penderita.<br />
<br />
Biasakan untuk mengetahui keadaan di tiap bagian yang anda periksa. Pemeriksaan dilakukan dari sebelah kanan penderita, dengan urutan inspeksi, auskultasi, perkusi, dan palpasi.<br />
<br />
INSPEKSI<br />
Mulai menginspeksi dinding abdomen dari posisi anda berdiri di sebelah kanan penderita. Apabila anda akan memeriksa gerakan peristaltik, sebaiknya dilakukan dengan duduk, atau agak membungkuk sehingga anda dapat melihat dinding abdomen secara tangensial.<br />
Memperhatikan :<br />
1. Kulit: Apakah ada sikotrik, stria, atau vena yang melebar. Secara normal, mungkin terlihat vena-vena kecil. Stria yang berwarna ungu terdapat pada sindroma cushing dan vena yang melebar dapat terlihat pada cirhosis hepatis atau bendungan vena cava inferior. Memperhatikan puala apakah dan rash atau lesi-lesi lainnya.<br />
2. Umbillkus: Memperhatikan bentuk dan lokasinya, dan apakah ada tanda-tanda inflamasi atau hernia.<br />
3. Memperhatikan bentuk permukaan (countur) abdomen termasuk daerah inguinal dan femaral: datar, bulat, protoberant, atau scapold? Bentuk yang melendung mungkin disebabkan oleh asites. Penonjolan suprapubik karena kehamilan atau kandungan kencing yang penuh. Tonjolan asimetris mungkin terjadi karena pembesaran organ setempat atau masa.<br />
4. Simetri dinding abdomen.<br />
5. Pembesaran organ: meminta penderita untuk bernafas, memperhatikan apakah nampak adanya hepar atau lien yang menonjol di bawah arcus casta.<br />
6. Masa<br />
7. Peristaltik: Apabila anda mencurigai adanya abstruksi usus, mengamati peristaltik selama beberapa menit. Pada organ yang kurus, kadang-kadang peristaltik yang normal dapat terlihat.<br />
8. Pulsasi: pulsasi aorta yang normal kadang-kadang dapat terlihat di daerah epigastrium.<br />
AUSKULTASI<br />
Pemeriksaan auskultasi abdomen berguna untuk memperkirakan gerakan usus, dan kemungkinan adanya gangguan vaskuler, anda harus banyak berlatih hingga betul-betul mengenali keadaan normal dan variasi normal. Auskultasi abdomen dilakukan sebelum perkusi dan palpasi, karena kedua pemeriksaan tersebut dapat mempengaruhi frekuensi suara usus meletakkan diafragma dari stetoskop anda dengan lembut pada abdomen.<br />
Mendengarkan suara usus, dan memperhatikan frekuensi dan karakteristik suara yang normal terdiri dari clicks dan gurgles, dengan frekuensi kira-kira 5 sampai dengan 35 per menit. Kadang-kadang anda dapat mendengar harboryrmi yaitu gurgles yang panjang. Karena suara khusus akan disebarkan ke seluruh abdomen, maka mendengarnya pada satu tempat saja, misalnya kuadran kanan bawah biasanya sudah memadai. Suara usus ini dapat berubah pada diare, sumbatan usus, ileus paralitikus dan peritonis.<br />
Pada penderita dengan hipertensi, memeriksa daerah epigastrium dan daerah kuadran kanan dan kiri atas, apakah ada bising. Bising pada sistole dan distole pada penderita hipertensi menunjukkan adanya stenasis arteria renalis. Sedangkan bising sistole saja pada epigastrium dapat terdapat pada orang normal.<br />
Apabila dicurigai adanya insufisiensi arteri pada tungkai, memeriksa ada bising sistolik dan diastolik pada arteria iliaca dan femoralis.<br />
<br />
PERKUSI<br />
Perkusi berguna untuk orientasi abdomen, untuk memperbaiki ukuran hepar, dan kadang-kadang lien, menemukan asites, mengetahui apakah suatu masa padat atau kristik, dan untuk mengetahui adanya udara pada lambung dan usus.<br />
<br />
Orientasi <br />
Melakukan perkusi pada keempat kuadran untuk memperbaiki distribusi suara timpani dan redup. Biasanya suara timpanilah yang dominan karena adanya gas pada saluran gastraintestinal, tetapi cairan dan feses menghasilkan suara redup. Pada sisi abdomen perhatikan daerah timpani berubah menjadi redup. Memeriksa daerah suprapublik untuk mengetahui adanya kandungan kencing yang teregang atas uterus yang membesar.<br />
Di perkusi dada bagian bawah, antara paru dan arcus casta, anda akan mendengar suara redup hepar di sebelah kanan, dan suara timpana di sebelah kiri karena gelembung udara pada lambung dan fleksura splenikus kolon. Suara redup pada kedua sisi abdomen mungkin menunjukkan adanya asites.<br />
<br />
Hepar <br />
Melakukan perkusi pada garis midklavikula kanan, mulai dari bawah umbikulus (di daerah suara timpani) ke atas, sampai terdengar suara redup yang merupakan batas bawah hepar. Kemudian melakukan perkusi dari daerah paru ke bawah untuk menentukan batas atas hepar. Sekarang mengukur berapa sentimeter tinggi daerah redup hepar tersebut. Ukuran ini pada orang yang tinggi, lebih besar daripada orang yang pendek, dan biasanya pria lebih besar dari wanita, pada penderita penyakit abdtruksi paru kronik (COPD), batas bawah hepar dapat lebih ke bawah, tetapi jarak/daerah redup hepar tidak berubah.<br />
Apabila hepar tampaknya membesar, perkusilah daerah lain untuk mengetahui garis batas bawah hepar.<br />
<br />
Lien <br />
Lien yang normal terletak pada lengkung diafragma, di sebelah pasterior garis midaxiler. Suatu daerah kecil suara redup dapat ditemukan diantara suara sonar paru dan suara timpani, tetapi mencari suara redup lien ini tidak banyak gunanya. Perkusi lien hanya berguna kalau dicurigai atau didapatkan spienomegali. Apabila membesar, lien akan membesar ke arah anterior, pasterior dan medial, mengganti suara timpani dari lambung dan kolon, menjadi suara redup.<br />
<br />
PALPASI<br />
Palpasi ringan (supenicial) berguna untuk mengetahui adanya ketegangan otot nyeri tekan abdomen, dan beberapa organ dan masa supenicial.<br />
Dengan posisi tangan dan lengan bawah horizontal, dengan menggunakan telapak ujung jari-jari secara bersama-sama, melakukan gerakan menekan yang lembut dan ringan. Hindarkan suatu gerakan yang menghentak. Dengan perlahan rasakan semua kuadran. Mencari adanay masa atau organ, daerah nyeri tekan, atau daerah yang tegangan ototnya lebih tinggi (spasme). Apabila terdapat tegangan, dicari apakah ini disadari atau tidak, dengan mencoba cara merelaskan penderita dan melakukan palpasi pada waktu ekspirasi.<br />
Palpasi dalam biasanya diperlukan untuk pemeriksaan/memeriksa masa diabdomen. Dengan menggunakan permukaan pallar dari ujung jari, melakukan palpasi dalam untuk mengetahui adanya masa. Menentukan lokasinya, ukurannya, bentuknya, konsistensinya, mobilitasnya, apakah terasa nyeri pada tekanan.<br />
Apabila palpasi dalam sulit dilakukan (misalnya pada obesitas atau otot yang tegang), menggunakan dua tangan, satu di atas yang lain.<br />
Masa di abdomen dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis fisiologis (uterus dalam kehamilan): inflamasi (diverticulitis colon atau pseudacyts pancreas): vaskuler (aneurisma aorta): neoplastik (uterus yang miamatosa, karsinamakolon atau ovarium) atau abstruksi (kandung kencing yang teregang).<br />
<br />
Mengetahui adanya iritasi peritoneal<br />
Nyeri abdomen dan nyeri tekan abdomen, lebih-lebih bila disertai apasme otot menunjukkan adanya inflamasi dari peritoneum parietale. Temukan daerah ini setepatnya.<br />
Sebelumnya melakukan palpasi, penderita diminta untuk batuk dan temukanlah letak rasa sakitnya. Kemudian melakukan palpasi secara lembut dengan satu jari untuk menentukan daerah nyeri.<br />
Atau, meletakkan pemeriksaan untuk mengetahui adanya nyeri lepas. Tekan jari anda pelan-pelan dengan kuat, kemudian dengan tiba-tiba melepaskan tekanan anda. Apabila pada pelepasan tekanan juga timbul rasa sakit (tidak hanya pada penekanan), dinyatakan bahwa nyeri lepas tekan positif.<br />
<br />
<br />
Hepar <br />
Meletakkan tangan kiri anda di belakang penderita, menyangga kosta ke 11 dan 12 dengan posisi sejajar pada costa. Penderita diminta untuk relaks. Dengan mendorong hepar ke depan hepar akan lebih mudah teraba dari depan dengan tangan kanan. Menempatkan tangan kanan anda pada abdomen penderita sebelah kanan, di sebelah lateral otot rektus abdominis, dengan ujung jari ditempatkan di bawah batas bawah daerah redup hepar. Dengan posisi jari tangan menunjuk ke atas atau obliq, menekan dengan lembut ke arah dalam dan ke atas.<br />
Penderita diminta untuk bernafas dalam-dalam. Cobalah merasakan sentuhan hepar pada jari anda pada waktu hepar bergerak ke bawah dan menyentuh jari anda. Apabila anda merasakannya, kendorkan tekanan jari anda, sehingga hepar dapat meluncur di bawah jari anda, dan anda dapat meraba permukaan anterior hepar penderita. Apabila anda dapat merasakannya, batas hepar normal adanya lunak tegas dan tidak berbenjol-benjol.<br />
Pemeriksaan dapat juga dilakukan dengan teknik mengait, berdirilah di sebelah kanan penderita. Meletakkan kedua tangan anda bersebelahan di bawah batas bawah redup hepar. Penderita diminta untuk bernafas dalam-dalam dengan nafas perut, sehingga pada inspirasi hepar dan juga lien dan ginjal akan berada pada posisi teraba.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
<br />
<br />
<br />
Anonim.2007.Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Apendiksitis. myschoolnet.ppk.kpm.my/ingin_tahu/imej/apendix.jpg.<br />
Budianto, Anang. 2005. Guidance to Anatomy II. Surakarta : Keluarga Besar Asisten Anatomi FKUNS.<br />
Chandrasoma dan Taylor. 2006. Ringkasan Patologi Anatomi. Ed: ke-2. Jakarta : EGC.<br />
Dietho.2007. Apendisitis. Terdapat dalam: http://dito.rezaervani.com/?page_id=13.<br />
Doenges, Marylinn E. (2000), Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Penerbit Buku Kedokteran, EGC. Jakarta.<br />
Faradillah, Firman, dan Anita. 2009. Gastro Intestinal Track Anatomical Aspect. Surakarta : Keluarga Besar Asisten Anatomi FKUNS.<br />
Lawrence. 2006. Appendix. Dalam: Current Surgical Diagnosis and Treatment. Ed : 12. USA : The McGraw-Hill Companies, Inc.<br />
Manjoer, Arif.2000. Kapita Selekta Kedokteran ed.3 cetakan 1.Media Aesculapsus:Jakarta.<br />
Pierce dan Neil. 2007. At a Glance Ilmu Bedah. Ed : 3. Jakarta : Penerbit Erlangga.<br />
Price dan Wilson. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Ed: Ke-6. Jakarta: EGC.<br />
Schwartz, Seymour, (2000), Intisari Prinsip-Prinsip Ilmu Bedah, Penerbit Buku Kedokteran, EGC. Jakarta. 4.Smeltzer, Suzanne C, (2001), Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah, Volume 2, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.<br />
Smeltzer, C. Suzanne, C. Brenda, G. Bare, 2001, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, Brunner & Suddarth, EGC, Jakarta. <br />
Subanada, Supadmi, Aryasa, dan Sudaryat. 2007. Beberapa Kelainan Gastrointestinal yang Memerlukan Tindakan Bedah. Dalam: Kapita Selekta Gastroenterologi Anak. Jakarta: CV Sagung Seto.Aca.Erlind_Dolphinhttp://www.blogger.com/profile/04320514247346944932noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2170963300141287609.post-68641264191202342632011-03-08T19:38:00.001-08:002011-03-08T19:41:03.388-08:00ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN EFUSI PLEURAKONSEP DASAR EFUSI PLEURA<br />
<br />
<br />
<br />
A. KONSEP DASAR<br />
1. Pengertian<br />
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan dari dalam kavum pleura diantara pleura parietalis dan pleura viseralis dapat berupa cairan transudat atau cairan eksudat ( Pedoman Diagnosis danTerapi / UPF ilmu penyakit paru, 1994, 111).<br />
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya masalah<br />
a. Anatomi<br />
Paru-paru terletak pada rongga dada. Masing-masing paru berbentuk kerucut. Paru kanan dibagi oleh dua buah fisura kedalam tiga lobus atas, tengah dan bawah. Paru kiri dibagi oleh sebuah tisuda ke dalam dua lobus atas dan bawah (John Gibson, MD, 1995, 121).<br />
Permukaan datar paru menghadap ke tengah rongga dada atau kavum mediastinum. Pada bagian tengah terdapat tampuk paru-paru atau hillus paru-paru dibungkus oleh selaput yang tipis disebut Pleura (Syaifudin B.AC , 1992, 104).<br />
Pleura merupakan membran tipis, transparan yang menutupi paru dalam dua lapisan : Lapisan viseral, yang dekat dengan permukaan paru dan lapisan parietal menutupi permukaan dalam dari dinding dada. Kedua lapisan tersebut berlanjut pada radix paru. Rongga pleura adalah ruang diantara kedua lapisan tersebut.<br />
b. Fisiologi<br />
Sistem pernafasan atau disebut juga sistem respirasi yang berarti “bernafas lagi” mempunyai peran atau fungsi menyediakan oksigen (O2) serta mengeluarkan carbon dioksida (CO2) dari tubuh. Fungsi penyediaan O2 serta pengeluaran CO2 merupakan fungsi yang vital bagi kehidupan.<br />
Proses respirasi berlangsung beberapa tahap antara lain :<br />
1) Ventilasi<br />
Adalah proses pengeluaran udara ke dan dari dalam paru. Proses ini terdiri atas 2 tahap :<br />
Inspirasi yaitu pergerakan udara dari luar ke dalam paru. Inspirasi terjadi dengan adanya kontraksi otot diafragma dan interkostalis eksterna yang menyebabkan volume thorax membesar sehingga tekanan intra alveolar menurun dan udara masuk ke dalam paru.<br />
Ekspirasi yaitu pergerakan udara dari dalam ke luar paru yang terjadi bila otot-otot expirasi relaxasi sehingga volume thorax mengecil yang secara otomatis menekan intra pleura dan volume paru mengecil dan tekanan intra alveola menurun sehingga udara keluar dari paru.<br />
2) Pertukaran gas di dalam alveol dan darah.<br />
3) Transport gas<br />
Yaitu perpindahan gas dari paru ke jaringan dan dari jaringan ke paru dengan bantuan darah (aliran darah).<br />
4) Pertukaran gas antara darah dengan sel-sel jaringan.Metabolisme penggunaan O2 di dalam sel serta pembuatan CO2 yang juga disebut pernafasan seluler. (Alsagaff H, Abdul Moekty, 1995, 15).<br />
Permukaan rongga pleura berbatasan lembab sehingga mudah bergerak satu ke yang lainnya (John Gibson, MD, 1995, 123). Dalam keadaan normal seharusnya tidak ada rongga kosong diantara kedua pleura karena biasanya hanya terdapat sekitar 10-20 cc cairan yang merupakan lapisan tipis serosa yang selalu bergerak secara teratur (Soeparman, 1990, 785). Setiap saat jumlah cairan dalam rongga pleura bisa menjadi lebih dari cukup untuk memisahkan kedua pleura, maka kelebihan tersebut akan dipompa keluar oleh pembuluh limfatik (yang membuka secara langsung) dari rongga pleura ke dalam mediastinum. Permukaan superior dari diafragma dan permukaan lateral dari pleura parietis disamping adanya keseimbangan antara produksi oleh pleura parietalis dan absorbsi oleh pleura viseralis . Oleh karena itu ruang pleura disebut sebagai ruang potensial. Karena ruang ini normalnya begitu sempit sehingga bukan merupakan ruang fisik yang jelas. (Guyton dan Hall, Ege,1997, 607).<br />
c. Etiologi<br />
Berdasarkan jenis cairan yang terbnetuk, cairan pleura dibagi menjadi transudat, eksudat dan hemoragis<br />
1) Transudat dapat disebabkan oleh kegagalan jantung kongestif (gagal jantung kiri), sindroma nefrotik, asites (oleh karena sirosis kepatis), syndroma vena cava superior, tumor, sindroma meig.<br />
2) Eksudat disebabkan oleh infeksi, TB, preumonia dan sebagainya, tumor, ifark paru, radiasi, penyakit kolagen.<br />
3) Effusi hemoragis dapat disebabkan oleh adanya tumor, trauma, infark paru, tuberkulosis.<br />
4) Berdasarkan lokasi cairan yang terbentuk, effusi dibagi menjadi unilateral dan bilateral. Efusi yang unilateral tidak mempunyai kaitan yang spesifik dengan penyakit penyebabnya akan tetapi effusi yang bilateral ditemukan pada penyakit-penyakit dibawah ini :Kegagalan jantung kongestif, sindroma nefrotik, asites, infark paru, lupus eritematosus systemic, tumor dan tuberkolosis.<br />
Terjadinya efusi pleura disebabkan oleh 2 faktor yaitu :<br />
1. Infeksi :<br />
- Tuberkulosis<br />
- Pneumonitis<br />
- Abses paru<br />
- Abses subfrenik<br />
2. Non infeksi :<br />
- Karsinoma paru <br />
- Karsinoma pleura : primer dan sekunder<br />
- Karsinoma mediastinum<br />
- Tumor ovarium<br />
- Bendungan jantung : gagal jantung, perikarditis konstruktiva<br />
- Gagal hati<br />
- Gagal ginjal<br />
- Hipotiroidisme<br />
- Kilotoraks<br />
- Emboli paru<br />
<br />
Efusi pleura bukanlah suatu disease entity tapi merupakan gejala penyakit, diantaranya : <br />
- Pleuritis karena virus dan mikoplasma<br />
- Pleuritis karena bakteri piogenik<br />
- Pleuritis tuberkulosa<br />
- Pleuritis karena jamur<br />
- Efusi pleura karena kelainan intra abdominal ( cirosis hepatis, syndrom Meig, dialisis peritoneal )<br />
- Efusi pleura karena penyakit kolagen ( lupus eritematosus, artritis rheumatoid, skleroderma ).<br />
- Efusi pleura karena gangguan sirkulasi ( gangguan kardiovaskuler, emboli pulmonal, hipoalbuminemia ).<br />
- Efusi pleura karena neoplasma ( mesotelioma, karsinoma bronkhus, neoplasma metastatik, lymfoma maligna ).<br />
- Efusi pleura karena sebab lain ( trauma, uremia, miksedema, limfodema, demam familial mediteranian, reaksi hipersensitif terhadap obat, sydrom dressler, sarkoidosis ).<br />
d. Patofisiologi<br />
Dalam keadaan normal hanya terdapat 10-20 ml cairan di dalam rongga pleura. Jumlah cairan di rongga pleura tetap, karena adanya tekanan hidrostatis pleura parietalis sebesar 9 cm H2O. Akumulasi cairan pleura dapat terjadi apabila tekanan osmotik koloid menurun misalnya pada penderita hipoalbuminemia dan bertambahnya permeabilitas kapiler akibat ada proses keradangan atau neoplasma, bertambahnya tekanan hidrostatis akibat kegagalan jantung dan tekanan negatif intra pleura apabila terjadi atelektasis paru (Alsagaf H, Mukti A, 1995, 145).<br />
Effusi pleura berarti terjadi pengumpulan sejumlah besar cairan bebas dalam kavum pleura. Kemungkinan penyebab efusi antara lain (1) penghambatan drainase limfatik dari rongga pleura, (2) gagal jantung yang menyebabkan tekanan kapiler paru dan tekanan perifer menjadi sangat tinggi sehingga menimbulkan transudasi cairan yang berlebihan ke dalam rongga pleura (3) sangat menurunnya tekanan osmotik kolora plasma, jadi juga memungkinkan transudasi cairan yang berlebihan (4) infeksi atau setiap penyebab peradangan apapun pada permukaan pleura dari rongga pleura, yang memecahkan membran kapiler dan memungkinkan pengaliran protein plasma dan cairan ke dalam rongga secara cepat (Guyton dan Hall , Egc, 1997, 623-624).<br />
e. Tanda dan gejala<br />
Manifestasi klinik efusi pleura akan tergantung dari jumlah cairan yang ada serta tingkat kompresi paru. Jika jumlah efusinya sedikit (misalnya < 250 ml), mungkin belum menimbulkan manifestasi klinik dan hanya dapat dideteksi dengan X-ray foto thorakks. Dengan membesarnya efusi akan terjadi restriksi ekspansi paru dan pasien mungkin mengalami :
- Dispneu bervariasi
- Nyeri pleuritik biasanya mendahului efusi sekunder akibat penyakit pleura
- Trakea bergeser menjauhi sisi yang mengalami efusi
- Ruang interkostal menonjol (efusi yang berat)
- Pergerakan dada berkurang dan terhambat pada bagian yang terkena
- Perkusi meredup di atas efusi pleura
- Egofoni di atas paru-paru yang tertekan dekat efusi
- Suara nafas berkurang di atas efusi pleura
- Fremitus vokal dan raba berkurang
2. Dampak Masalah
a. Dampak masalah terhadap individu
Sebagaimana penderita penyakit yang lain, pada pasien effusi pleura akan mengalami suatu perubahan baik bio, psiko sosial dan spiritual yang akan selalu menimbulkan dampak yang diakibatkan oleh proses penyakit atau pengobatan dan perawatan. Pada umumnya Px dengan effusi pleura akan tampak sakit, suara nafas menurun adanya nyeri pleuritik terutama pada akhir inspirasi, febris, batuk dan yang lebih khas lagi adalah adanya sesak nafas, rasa berat pada dada akibat adnya akumulasi cairan di kavum pleura.
b. Dampak masalah terhadap keluarga
Pada umumnya keluarga pasien akan merasa dituntut untuk selalu menjaga dan memenuhi kebutuhan pasien. Apabila ada salah satu anggota keluarga yang sakit sehingga keluarga pasien akan memberi perhatian yang lebih pada pasien. Keluarga menjadi cemas dengan keadaan pasien karena mungkin sebagai orang awam keluarga pasien kurang mengerti dengan kondisi pasien dan tentang bagaimana perawatannya. Lamanya perawatan pasien banyaknya biaya pengobatan merupakan masalah bagi pasien dan keluarganya terlebih untuk keluarga dengan tingkat ekonomi yang rendah.
Secara langsung peran pasien sesuai statusnya pun akan mengalami perubahan bahkan gangguan selama pasien dirawat di rumah sakit.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN EFUSI PLEURA
Pemberian Asuhan Keperawatan merupakan proses terapeutik yang melibatkan hubungan kerjasama dengan klien, keluarga atau masyarakat untuk mencapai tingkat kesehatan yang optimal (Canpernito, 2000,2).
Perawat memerlukan metode ilmiah dalam melakukan proses terapeutik tersebut yaitu proses keperawatan. Proses keperewatan dipakai untuk membantu perawat dalam melakukan praktek keperawatan secara sistematis dalam mengatasi masalah keperawatan yang ada, dimana keempat komponennya saling mempengaruhi satu sama lain yaitu : pengkajian, perencanaan, implementasi dan evaluasi yang membentuk suatu mata rantai (Budianna Keliat, 1994,2).
1. Pengkajian
Pengumpulan Data
Data-data yang dikumpulkan atau dikaji meliputi :
a. Identitas Pasien
Pada tahap ini perawat perlu mengetahui tentang nama, umur, jenis kelamin, alamat rumah, agama atau kepercayaan, suku bangsa, bahasa yang dipakai, status pendidikan dan pekerjaan pasien.
b. Keluhan Utama
Keluhan utama merupakan faktor utama yang mendorong pasien mencari pertolongan atau berobat ke rumah sakit. Biasanya pada pasien dengan effusi pleura didapatkan keluhan berupa sesak nafas, rasa berat pada dada, nyeri pleuritik akibat iritasi pleura yang bersifat tajam dan terlokasilir terutama pada saat batuk dan bernafas serta batuk non produktif.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dengan effusi pleura biasanya akan diawali dengan adanya tanda-tanda seperti batuk, sesak nafas, nyeri pleuritik, rasa berat pada dada, berat badan menurun dan sebagainya. Perlu juga ditanyakan mulai kapan keluhan itu muncul. Apa tindakan yang telah dilakukan untuk menurunkan atau menghilangkan keluhan-keluhannya tersebut.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu ditanyakan apakah pasien pernah menderita penyakit seperti TBC paru, pneumoni, gagal jantung, trauma, asites dan sebagainya. Hal ini diperlukan untuk mengetahui kemungkinan adanya faktor predisposisi.
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu ditanyakan apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit-penyakit yang disinyalir sebagai penyebab effusi pleura seperti Ca paru, asma, TB paru dan lain sebagainya.
f. Riwayat Psikososial
Meliputi perasaan pasien terhadap penyakitnya, bagaimana cara mengatasinya serta bagaimana perilaku pasien terhadap tindakan yang dilakukan terhadap dirinya.
g. Pengkajian Pola-Pola Fungsi Kesehatan
1) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Adanya tindakan medis dan perawatan di rumah sakit mempengaruhi perubahan persepsi tentang kesehatan, tapi kadang juga memunculkan persepsi yang salah terhadap pemeliharaan kesehatan. Kemungkinan adanya riwayat kebiasaan merokok, minum alkohol dan penggunaan obat-obatan bisa menjadi faktor predisposisi timbulnya penyakit.
2) Pola nutrisi dan metabolisme
Dalam pengkajian pola nutrisi dan metabolisme, kita perlu melakukan pengukuran tinggi badan dan berat badan untuk mengetahui status nutrisi pasien, selain juga perlu ditanyakan kebiasaan makan dan minum sebelum dan selama MRS pasien dengan effusi pleura akan mengalami penurunan nafsu makan akibat dari sesak nafas dan penekanan pada struktur abdomen. Peningkatan metabolisme akan terjadi akibat proses penyakit. pasien dengan effusi pleura keadaan umumnya lemah.
3) Pola eliminasi
Dalam pengkajian pola eliminasi perlu ditanyakan mengenai kebiasaan ilusi dan defekasi sebelumdan sesudah MRS. Karena keadaan umum pasien yang lemah, pasien akan lebih banyak bed rest sehingga akan menimbulkan konstipasi, selain akibat pencernaan pada struktur abdomen menyebabkan penurunan peristaltik otot-otot tractus degestivus.
4) Pola aktivitas dan latihan
Akibat sesak nafas, kebutuhan O2 jaringan akan kurang terpenuhi dan Px akan cepat mengalami kelelahan pada aktivitas minimal. Disamping itu pasien juga akan mengurangi aktivitasnya akibat adanya nyeri dada. Dan untuk memenuhi kebutuhan ADL nya sebagian kebutuhan pasien dibantu oleh perawat dan keluarganya.
5) Pola tidur dan istirahat
Adanya nyeri dada, sesak nafas dan peningkatan suhu tubuh akan berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan tidur dan istitahat, selain itu akibat perubahan kondisi lingkungan dari lingkungan rumah yang tenang ke lingkungan rumah sakit, dimana banyak orang yang mondar-mandir, berisik dan lain sebagainya.
6) Pola hubungan dan peran
Akibat dari sakitnya, secara langsung pasien akan mengalami perubahan peran, misalkan pasien seorang ibu rumah tangga, pasien tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai seorang ibu yang harus mengasuh anaknya, mengurus suaminya. Disamping itu, peran pasien di masyarakatpun juga mengalami perubahan dan semua itu mempengaruhi hubungan interpersonal pasien.
7) Pola persepsi dan konsep diri
Persepsi pasien terhadap dirinya akan berubah. Pasien yang tadinya sehat, tiba-tiba mengalami sakit, sesak nafas, nyeri dada. Sebagai seorang awam, pasien mungkin akan beranggapan bahwa penyakitnya adalah penyakit berbahaya dan mematikan. Dalam hal ini pasien mungkin akan kehilangan gambaran positif terhadap dirinya.
8) Pola sensori dan kognitif
Fungsi panca indera pasien tidak mengalami perubahan, demikian juga dengan proses berpikirnya.
9) Pola reproduksi seksual
Kebutuhan seksual pasien dalam hal ini hubungan seks intercourse akan terganggu untuk sementara waktu karena pasien berada di rumah sakit dan kondisi fisiknya masih lemah.
10) Pola penanggulangan stress
Bagi pasien yang belum mengetahui proses penyakitnya akan mengalami stress dan mungkin pasien akan banyak bertanya pada perawat dan dokter yang merawatnya atau orang yang mungkin dianggap lebih tahu mengenai penyakitnya.
11) Pola tata nilai dan kepercayaan
Sebagai seorang beragama pasien akan lebih mendekatkan dirinya kepada Tuhan dan menganggap bahwa penyakitnya ini adalah suatu cobaan dari Tuhan.
h. pemeriksaan fisik
1) Status Kesehatan Umum
Tingkat kesadaran pasien perlu dikaji, bagaimana penampilan pasien secara umum, ekspresi wajah pasien selama dilakukan anamnesa, sikap dan perilaku pasien terhadap petugas, bagaimana mood pasien untuk mengetahui tingkat kecemasan dan ketegangan pasien. Perlu juga dilakukan pengukuran tinggi badan berat badan pasien.
2) Sistem Respirasi
Inspeksi pada pasien effusi pleura bentuk hemithorax yang sakit mencembung, iga mendatar, ruang antar iga melebar, pergerakan pernafasan menurun. Pendorongan mediastinum ke arah hemithorax kontra lateral yang diketahui dari posisi trakhea dan ictus kordis. RR cenderung meningkat dan Px biasanya dyspneu.
Fremitus tokal menurun terutama untuk effusi pleura yang jumlah cairannya > 250 cc. Disamping itu pada palpasi juga ditemukan pergerakan dinding dada yang tertinggal pada dada yang sakit.<br />
Suara perkusi redup sampai peka tegantung jumlah cairannya. Bila cairannya tidak mengisi penuh rongga pleura, maka akan terdapat batas atas cairan berupa garis lengkung dengan ujung lateral atas ke medical penderita dalam posisi duduk. Garis ini disebut garis Ellis-Damoisseaux. Garis ini paling jelas di bagian depan dada, kurang jelas di punggung.<br />
Auskultasi Suara nafas menurun sampai menghilang. Pada posisi duduk cairan makin ke atas makin tipis, dan dibaliknya ada kompresi atelektasis dari parenkian paru, mungkin saja akan ditemukan tanda-tanda auskultasi dari atelektasis kompresi di sekitar batas atas cairan. Ditambah lagi dengan tanda i – e artinya bila penderita diminta mengucapkan kata-kata i maka akan terdengar suara e sengau, yang disebut egofoni (Alsagaf H, Ida Bagus, Widjaya Adjis, Mukty Abdol, 1994,79)<br />
3) Sistem Cardiovasculer<br />
Pada inspeksi perlu diperhatikan letak ictus cordis, normal berada pada ICS – 5 pada linea medio claviculaus kiri selebar 1 cm. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya pembesaran jantung. Palpasi untuk menghitung frekuensi jantung (health rate) dan harus diperhatikan kedalaman dan teratur tidaknya denyut jantung, perlu juga memeriksa adanya thrill yaitu getaran ictus cordis. Perkusi untuk menentukan batas jantung dimana daerah jantung terdengar pekak. Hal ini bertujuan untuk menentukan adakah pembesaran jantung atau ventrikel kiri. Auskultasi untuk menentukan suara jantung I dan II tunggal atau gallop dan adakah bunyi jantung III yang merupakan gejala payah jantung serta adakah murmur yang menunjukkan adanya peningkatan arus turbulensi darah.<br />
4) Sistem Pencernaan<br />
Pada inspeksi perlu diperhatikan, apakah abdomen membuncit atau datar, tepi perut menonjol atau tidak, umbilicus menonjol atau tidak, selain itu juga perlu di inspeksi ada tidaknya benjolan-benjolan atau massa.<br />
Auskultasi untuk mendengarkan suara peristaltik usus dimana nilai normalnya 5-35 kali permenit. Pada palpasi perlu juga diperhatikan, adakah nyeri tekan abdomen, adakah massa (tumor, feces), turgor kulit perut untuk mengetahui derajat hidrasi pasien, apakah hepar teraba, juga apakah lien teraba. Perkusi abdomen normal tympanik, adanya massa padat atau cairan akan menimbulkan suara pekak (hepar, asites, vesika urinarta, tumor).<br />
5) Sistem Neurologis<br />
Pada inspeksi tingkat kesadaran perlu dikaji Disamping juga diperlukan pemeriksaan GCS. Adakah composmentis atau somnolen atau comma. refleks patologis, dan bagaimana dengan refleks fisiologisnya. Selain itu fungsi-fungsi sensoris juga perlu dikaji seperti pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan dan pengecapan.<br />
6) Sistem Muskuloskeletal<br />
Pada inspeksi perlu diperhatikan adakah edema peritibial, palpasi pada kedua ekstremetas untuk mengetahui tingkat perfusi perifer serta dengan pemerikasaan capillary refil time. Dengan inspeksi dan palpasi dilakukan pemeriksaan kekuatan otot kemudian dibandingkan antara kiri dan kanan.<br />
7) Sistem Integumen <br />
Inspeksi mengenai keadaan umum kulit higiene, warna ada tidaknya lesi pada kulit, pada Px dengan effusi biasanya akan tampak cyanosis akibat adanya kegagalan sistem transport O2. Pada palpasi perlu diperiksa mengenai kehangatan kulit (dingin, hangat, demam). Kemudian texture kulit (halus-lunak-kasar) serta turgor kulit untuk mengetahui derajat hidrasi seseorang.<br />
i. Pemeriksaan Penunjang<br />
Hasil pemeriksaan medis dan laboratorium<br />
1. Pemeriksaan Radiologi<br />
Pada fluoroskopi maupun foto thorax PA cairan yang kurang dari 300 cc tidak bisa terlihat. Mungkin kelainan yang tampak hanya berupa penumpukkan kostofrenikus. Pada effusi pleura sub pulmonal, meski cairan pleura lebih dari 300 cc, frenicocostalis tampak tumpul, diafragma kelihatan meninggi. Untuk memastikan dilakukan dengan foto thorax lateral dari sisi yang sakit (lateral dekubitus) ini akan memberikan hasil yang memuaskan bila cairan pleura sedikit (Hood Alsagaff, 1990, 786-787).<br />
2. Biopsi Pleura<br />
Biopsi ini berguna untuk mengambil specimen jaringan pleura dengan melalui biopsi jalur percutaneus. Biopsi ini digunakan untuk mengetahui adanya sel-sel ganas atau kuman-kuman penyakit (biasanya kasus pleurisy tuberculosa dan tumor pleura) (Soeparman, 1990, 788).<br />
j. Pemeriksaan Laboratorium<br />
Dalam pemeriksaan cairan pleura terdapat beberapa pemeriksaan antara lain :<br />
a. Pemeriksaan Biokimia<br />
Secara biokimia effusi pleura terbagi atas transudat dan eksudat yang perbedaannya dapat dilihat pada tabel berikut :<br />
Transudat Eksudat<br />
Kadar protein dalam effusi 9/dl < 3 > 3<br />
Kadar protein dalam effusi < 0,5 > 0,5<br />
Kadar protein dalam serum <br />
Kadar LDH dalam effusi (1-U) < 200 > 200<br />
Kadar LDH dalam effusi < 0,6 > 0,6<br />
Kadar LDH dalam serum<br />
Berat jenis cairan effusi < 1,016 > 1,016<br />
Rivalta Negatif Positif<br />
Disamping pemeriksaan tersebut diatas, secara biokimia diperiksakan juga cairan pleura :<br />
- Kadar pH dan glukosa. Biasanya merendah pada penyakit-penyakit infeksi, arthritis reumatoid dan neoplasma<br />
- Kadar amilase. Biasanya meningkat pada paulercatilis dan metastasis adenocarcinona (Soeparman, 1990, 787).<br />
b. Analisa cairan pleura<br />
- Transudat : jernih, kekuningan<br />
- Eksudat : kuning, kuning-kehijauan<br />
- Hilothorax : putih seperti susu<br />
- Empiema : kental dan keruh<br />
- Empiema anaerob : berbau busuk<br />
- Mesotelioma : sangat kental dan berdarah<br />
c. Perhitungan sel dan sitologi<br />
Leukosit 25.000 (mm3):empiema<br />
Banyak Netrofil : pneumonia, infark paru, pankreatilis, TB paru<br />
Banyak Limfosit : tuberculosis, limfoma, keganasan.<br />
Eosinofil meningkat : emboli paru, poliatritis nodosa, parasit dan jamur<br />
Eritrosit : mengalami peningkatan 1000-10000/ mm3 cairan tampak kemorogis, sering dijumpai pada pankreatitis atau pneumoni. Bila erytrosit > 100000 (mm3 menunjukkan infark paru, trauma dada dan keganasan.<br />
Misotel banyak : Jika terdapat mesotel kecurigaan TB bisa disingkirkan.<br />
Sitologi : Hanya 50 - 60 % kasus- kasus keganasan dapat ditemukan sel ganas. Sisanya kurang lebih terdeteksi karena akumulasi cairan pleura lewat mekanisme obstruksi, preamonitas atau atelektasis (Alsagaff Hood, 1995 : 147,148)<br />
<br />
d. Bakteriologis<br />
Jenis kuman yang sering ditemukan dalam cairan pleura adalah pneamo cocclis, E-coli, klebsiecla, pseudomonas, enterobacter. Pada pleuritis TB kultur cairan terhadap kuman tahan asam hanya dapat menunjukkan yang positif sampai 20 % (Soeparman, 1998: 788).<br />
Analisa Data<br />
Setelah semua data dikumpulkan, kemudian dikelompokkan dan dianalisa sehingga dapat ditemukan adanya masalah yang muncul pada penderita effusi pleura. Selanjutnya masalah tersebut dirumuskan dalam diagnosa keperawatan.<br />
<br />
2. Diagnosa Keperawatan<br />
Penentuan diagnosa keperawatan harus berdasarkan analisa data sari hasil pengkajian, maka diagnosa keperawatan yang ditemukan di kelompokkan menjadi diagnosa aktual, potensial dan kemungkinan. (Budianna Keliat, 1994,1)<br />
<br />
Beberapa diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan effusi pleura antara lain :<br />
1. Ketidakefektifan pola pernafasan berhubungan dengan menurunnya ekspansi paru sekunder terhadap penumpukkan cairan dalam rongga pleura (Susan Martin Tucleer, dkk, 1998).<br />
2. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Sehubungan dengan peningkatan metabolisme tubuh, pencernaan nafsu makan akibat sesak nafas sekunder terhadap penekanan struktur abdomen (Barbara Engram, 1993).<br />
3. Cemas sehubungan dengan adanya ancaman kematian yang dibayangkan (ketidakmampuan untuk bernafas).<br />
4. Gangguan pola tidur dan istirahat sehubungan dengan batuk yang menetap dan sesak nafas serta perubahan suasana lingkungan Barbara Engram).<br />
5. Ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari-hari sehubungan dengan keletihan (keadaan fisik yang lemah) (Susan Martin Tucleer, dkk, 1998).<br />
6. Kurang pengetahuan mengenai kondisi, aturan pengobatan sehubungan dengan kurang terpajang informasi (Barbara Engram, 1993)<br />
<br />
3. Perencanaan<br />
Setelah merumuskan diagnosa keperawatan, dibuat rencana tindakan untuk mengurangi, menghilangkan dan mencegah masalah klien.(Budianna Keliat, 1994, 16)<br />
1. Diagnosa Keperawatan I<br />
Ketidakefektifan pola pernafasan berhubungan dengan menurunnya ekspansi paru sekunder terhadap penumpukan cairan dalam rongga pleura.<br />
Tujuan : Pasien mampu mempertahankan fungsi paru secara normal<br />
Kriteria hasil : Irama, frekuensi dan kedalaman pernafasan dalam batas normal, pada pemeriksaan sinar X dada tidak ditemukan adanya akumulasi cairan, bunyi nafas terdengar jelas.<br />
Rencana tindakan : <br />
a. Identifikasi faktor penyebab. <br />
Rasional : Dengan mengidentifikasikan penyebab, kita dapat menentukan jenis effusi pleura sehingga dapat mengambil tindakan yang tepat.<br />
b. Kaji kualitas, frekuensi dan kedalaman pernafasan, laporkan setiap perubahan yang terjadi. <br />
Rasional : Dengan mengkaji kualitas, frekuensi dan kedalaman pernafasan, kita dapat mengetahui sejauh mana perubahan kondisi pasien.<br />
c. Baringkan pasien dalam posisi yang nyaman, dalam posisi duduk, dengan kepala tempat tidur ditinggikan 60 – 90 derajat.<br />
Rasional : Penurunan diafragma memperluas daerah dada sehingga ekspansi paru bisa maksimal.<br />
d. Observasi tanda-tanda vital (suhu, nadi, tekanan darah, RR dan respon pasien). <br />
Rasional : Peningkatan RR dan tachcardi merupakan indikasi adanya penurunan fungsi paru.<br />
e. Lakukan auskultasi suara nafas tiap 2-4 jam.<br />
Rasional : Auskultasi dapat menentukan kelainan suara nafas pada bagian paru-paru.<br />
f. Bantu dan ajarkan pasien untuk batuk dan nafas dalam yang efektif.<br />
Rasional : Menekan daerah yang nyeri ketika batuk atau nafas dalam. Penekanan otot-otot dada serta abdomen membuat batuk lebih efektif.<br />
g. Kolaborasi dengan tim medis lain untuk pemberian O2 dan obat-obatan serta foto thorax.<br />
Rasional : Pemberian oksigen dapat menurunkan beban pernafasan dan mencegah terjadinya sianosis akibat hiponia. Dengan foto thorax dapat dimonitor kemajuan dari berkurangnya cairan dan kembalinya daya kembang paru.<br />
2. Diagnosa Keperawatan II<br />
Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh sehubungan dengan peningkatan metabolisme tubuh, penurunan nafsu makan akibat sesak nafas.<br />
Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpenuhi<br />
Kriteria hasil : Konsumsi lebih 40 % jumlah makanan, berat badan normal dan hasil laboratorium dalam batas normal.<br />
Rencana tindakan : <br />
a. Beri motivasi tentang pentingnya nutrisi. <br />
Rasional : Kebiasaan makan seseorang dipengaruhi oleh kesukaannya, kebiasaannya, agama, ekonomi dan pengetahuannya tentang pentingnya nutrisi bagi tubuh.<br />
b. Auskultasi suara bising usus. <br />
Rasional : Bising usus yang menurun atau meningkat menunjukkan adanya gangguan pada fungsi pencernaan.<br />
c. Lakukan oral hygiene setiap hari. <br />
Rasional : Bau mulut yang kurang sedap dapat mengurangi nafsu makan.<br />
d. Sajikan makanan semenarik mungkin.<br />
Rasional : Penyajian makanan yang menarik dapat meningkatkan nafsu makan.<br />
e. Beri makanan dalam porsi kecil tapi sering.<br />
Rasional : Makanan dalam porsi kecil tidak membutuhkan energi, banyak selingan memudahkan reflek.<br />
f. Kolaborasi dengan tim gizi dalam pemberian di’it TKTP<br />
Rasional : Di’it TKTP sangat baik untuk kebutuhan metabolisme dan pembentukan antibody karena diet TKTP menyediakan kalori dan semua asam amino esensial.<br />
g. Kolaborasi dengan dokter atau konsultasi untuk melakukan pemeriksaan laboratorium alabumin dan pemberian vitamin dan suplemen nutrisi lainnya (zevity, ensure, socal, putmocare) jika intake diet terus menurun lebih 30 % dari kebutuhan.<br />
Rasional : Peningkatan intake protein, vitamin dan mineral dapat menambah asam lemak dalam tubuh. <br />
3. Diagnosa Keperawatan III<br />
Cemas atau ketakutan sehubungan dengan adanya ancaman kematian yang dibayangkan (ketidakmampuan untuk bernafas).<br />
Tujuan : Pasien mampu memahami dan menerima keadaannya sehingga tidak terjadi kecemasan.<br />
Kriteria hasil : Pasien mampu bernafas secara normal, pasien mampu beradaptasi dengan keadaannya. Respon non verbal klien tampak lebih rileks dan santai, nafas teratur dengan frekuensi 16-24 kali permenit, nadi 80-90 kali permenit.<br />
Rencana tindakan : <br />
a. Berikan posisi yang menyenangkan bagi pasien. Biasanya dengan semi fowler.<br />
Jelaskan mengenai penyakit dan diagnosanya. <br />
Rasional : pasien mampu menerima keadaan dan mengerti sehingga dapat diajak kerjasama dalam perawatan.<br />
a. Ajarkan teknik relaksasi <br />
Rasional : Mengurangi ketegangan otot dan kecemasan<br />
b. Bantu dalam menggala sumber koping yang ada. <br />
Rasional : Pemanfaatan sumber koping yang ada secara konstruktif sangat bermanfaat dalam mengatasi stress.<br />
c. Pertahankan hubungan saling percaya antara perawat dan pasien. Rasional : Hubungan saling percaya membantu proses terapeutik<br />
d. Kaji faktor yang menyebabkan timbulnya rasa cemas. <br />
Rasional : Tindakan yang tepat diperlukan dalam mengatasi masalah yang dihadapi klien dan membangun kepercayaan dalam mengurangi kecemasan.<br />
e. Bantu pasien mengenali dan mengakui rasa cemasnya. <br />
Rasional : Rasa cemas merupakan efek emosi sehingga apabila sudah teridentifikasi dengan baik, perasaan yang mengganggu dapat diketahui.<br />
4. Diagnosa Keperawatan IV<br />
Gangguan pola tidur dan istirahat sehubungan dengan batuk yang menetap dan nyeri pleuritik.<br />
Tujuan : Tidak terjadi gangguan pola tidur dan kebutuhan istirahat terpenuhi.<br />
Kriteria hasil : Pasien tidak sesak nafas, pasien dapat tidur dengan nyaman tanpa mengalami gangguan, pasien dapat tertidur dengan mudah dalam waktu 30-40 menit dan pasien beristirahat atau tidur dalam waktu 3-8 jam per hari.<br />
Rencana tindakan : <br />
a. Beri posisi senyaman mungkin bagi pasien. <br />
Rasonal : Posisi semi fowler atau posisi yang menyenangkan akan memperlancar peredaran O2 dan CO2.<br />
b. Tentukan kebiasaan motivasi sebelum tidur malam sesuai dengan kebiasaan pasien sebelum dirawat. <br />
Rasional : Mengubah pola yang sudah menjadi kebiasaan sebelum tidur akan mengganggu proses tidur.<br />
c. Anjurkan pasien untuk latihan relaksasi sebelum tidur. <br />
Rasional : Relaksasi dapat membantu mengatasi gangguan tidur.<br />
d. Observasi gejala kardinal dan keadaan umum pasien. <br />
Rasional : Observasi gejala kardinal guna mengetahui perubahan terhadap kondisi pasien. <br />
5. Diagnosa Keperawatan V<br />
Ketidakmampuan melaksanakan aktivitas sehari-hari sehubungan dengan keletihan (keadaan fisik yang lemah).<br />
Tujuan : Pasien mampu melaksanakan aktivitas seoptimal mungkin.<br />
Kriteria hasil : Terpenuhinya aktivitas secara optimal, pasien kelihatan segar dan bersemangat, personel hygiene pasien cukup.<br />
Rencana tindakan : <br />
a. Evaluasi respon pasien saat beraktivitas, catat keluhan dan tingkat aktivitas serta adanya perubahan tanda-tanda vital. <br />
Raasional : Mengetahui sejauh mana kemampuan pasien dalam melakukan aktivitas.<br />
a. Bantu Px memenuhi kebutuhannya. <br />
Rasional : Memacu pasien untuk berlatih secara aktif dan mandiri.<br />
b. Awasi Px saat melakukan aktivitas.<br />
Rasional : Memberi pendidikan pada Px dan keluarga dalam perawatan selanjutnya.<br />
c. Libatkan keluarga dalam perawatan pasien. <br />
Rasional : Kelemahan suatu tanda Px belum mampu beraktivitas secara penuh.<br />
d. Jelaskan pada pasien tentang perlunya keseimbangan antara aktivitas dan istirahat. <br />
Rasional : Istirahat perlu untuk menurunkan kebutuhan metabolisme.<br />
e. Motivasi dan awasi pasien untuk melakukan aktivitas secara bertahap. <br />
Rasional : Aktivitas yang teratur dan bertahap akan membantu mengembalikan pasien pada kondisi normal. <br />
6. Diagnosa Keperawatan VI<br />
Kurang pengetahuan mengenai kondisi, aturan pengobatan sehubungan dengan kurangnya informasi.<br />
Tujuan : Pasien dan keluarga tahu mengenai kondisi dan aturan pengobatan.<br />
Kriteria hasil : <br />
a. Px dan keluarga menyatakan pemahaman penyebab masalah.<br />
b. PX dan keluarga mampu mengidentifikasi tanda dan gejala yang memerlukan evaluasi medik.<br />
c. Px dan keluarga mengikuti program pengobatan dan menunjukkan perubahan pola hidup yang perlu untuk mencegah terulangnya masalah.<br />
Rencana tindakan :<br />
a. Kaji patologi masalah individu. <br />
Rasional : Informasi menurunkan takut karena ketidaktahuan. Memberikan pengetahuan dasar untuk pemahaman kondisi dinamik dan pentingnya intervensi terapeutik.<br />
b. Identifikasi kemungkinan kambuh atau komplikasi jangka panjang. <br />
Rasional : Penyakit paru yang ada seperti PPOM berat, penyakit paru infeksi dan keganasan dapat meningkatkan insiden kambuh.<br />
c. Kaji ulang tanda atau gejala yang memerlukan evaluasi medik cepat (contoh, nyeri dada tiba-tiba, dispena, distress pernafasan).<br />
Rasional : Berulangnya effusi pleura memerlukan intervensi medik untuk mencegah, menurunkan potensial komplikasi.<br />
d. Kaji ulang praktik kesehatan yang baik (contoh, nutrisi baik, istirahat, latihan). <br />
Rasional : Mempertahankan kesehatan umum meningkatkan penyembuhan dan dapat mencegah kekambuhan.<br />
4. Pelaksanaan<br />
Implementasi merupakan pelaksanaan rencana keperawatan oleh perawat terhadap pasien. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan rencana keperawatan diantaranya :<br />
Intervensi dilaksanakan sesuai dengan rencana setelah dilakukan validasi ; ketrampilan interpersonal, teknikal dan intelektual dilakukan dengan cermat dan efisien pada situasi yang tepat, keamanan fisik dan psikologis klien dilindungi serta dokumentasi intervensi dan respon pasien.<br />
Pada tahap implementasi ini merupakan aplikasi secara kongkrit dari rencana intervensi yang telah dibuat untuk mengatasi masalah kesehatan dan perawatan yang muncul pada pasien (Budianna Keliat, 1994,4).<br />
<br />
5. Evaluasi<br />
Evaluasi merupakan langkah terakhir dalam proses keperawatan, dimana evaluasi adalah kegiatan yang dilakukan secara terus menerus dengan melibatkan pasien, perawat dan anggota tim kesehatan lainnya.<br />
Tujuan dari evaluasi ini adalah untuk menilai apakah tujuan dalam rencana keperawatan tercapai dengan baik atau tidak dan untuk melakukan pengkajian ulang (US. Midar H, dkk, 1989).<br />
Kriteria dalam menentukan tercapainya suatu tujuan, pasien :<br />
a. Mampu mempertahankan fungsi paru secara normal.<br />
b. Kebutuhan nutrisi terpenuhi.<br />
c. Tidak terjadi gangguan pola tidur dan kebutuhan istirahat terpenuhi.<br />
d. Dapat memenuhi kebutuhan perawatan diri sehari-hari untuk mengembalikan aktivitas seperti biasanya.<br />
e. Menunjukkan pengetahuan dan gejala-gejala gangguan pernafasan seperti sesak nafas, nyeri dada sehingga dapat melaporkan segera ke dokter atau perawat yang merawatnya.<br />
f. Mampu menerima keadaan sehingga tidak terjadi kecemasan.<br />
g. Menunjukkan pengetahuan tentang tindakan pencegahan yang berhubungan dengan penatalaksanaan kesehatan, meliputi kebiasaan yang tidak menguntungkan bagi kesehatan seperti merokok, minum minuman beralkohol dan pasien juga menunjukkan pengetahuan tentang kondisi penyakitnya.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
<br />
<br />
Al sagaff H dan Mukti. A, Dasar – Dasar Ilmu Penyakit Paru, Airlangga University Press, Surabaya ; 1995.<br />
<br />
Carpenito, Lynda Juall, Diagnosa keperawatan Aplikasi pada Praktek Klinik Edisi 6, Penerbit Buku Kedokteran EGC,;1995.<br />
<br />
Carpenito, Lynda Juall, Rencana Asuhan dan Dokumentasi keperawatan Edisi 2, Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 1995.<br />
<br />
Engram, Barbara, Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Volume I, Penerbit Buku Kedokteran EGC ; 1999.<br />
<br />
Ganong F. William, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 17, Jakarta EGC ; 1998.<br />
<br />
Gibson, John, MD, Anatomi Dan Fisiologi Modern Untuk Perawat, Jakarta EGC ; 1995.<br />
<br />
Keliat, Budi Anna. Proses Keperawatan, Arcan Jakarta ; 1991.<br />
<br />
Laboratorium Ilmu Penyakit Paru FK UNAIR, Dasar – Dasar Diagnostik Fisik Paru, Surabaya; 1994.<br />
<br />
Lismidar,proses keperawatan H,dkk, Proses keperawatan, AUP, 1990.<br />
<br />
Marrilyn. E. Doengus, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Edisi 3 Jakarta EGC ; 1999.<br />
<br />
Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo, Pedoman Diagnosis dan Terapi Lab/UPF Ilmu Penyakit Paru, Airlangga University Press; 1994.<br />
<br />
B.AC,Syaifudin, Anatomi dan fisiologi untuk perawat, EGC; 1992.<br />
<br />
Soeparman A. Sarwono Waspadji, Ilmu Penyakit Dalam jilid II ; 1990.<br />
<br />
Susan Martin Tucker, Standar Perawatan Pasien, Jakarta EGC ; 1998.<br />
<br />
Soedarsono, Guidelines of Pulmonology, Surabaya ; 2000Aca.Erlind_Dolphinhttp://www.blogger.com/profile/04320514247346944932noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2170963300141287609.post-35712380699415114952011-03-08T19:21:00.001-08:002011-03-08T19:27:40.193-08:00ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN STROKETINJAUAN PUSTAKA<br />
<br />
<br />
<br />
A. KONSEP DASAR<br />
1. Pengertian<br />
Menurut WHO stroke adalah adanya tanda-tanda klinik yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau global) dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih yang menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler. (Hendro Susilo, 2000)<br />
2. Anatomi fisiologi<br />
a. Otak <br />
Berat otak manusia sekitar 1400 gram dan tersusun oleh kurang lebih 100 triliun neuron. Otak terdiri dari empat bagian besar yaitu serebrum (otak besar), serebelum (otak kecil), brainstem (batang otak), dan diensefalon. (Satyanegara, 1998)<br />
Serebrum terdiri dari dua hemisfer serebri, korpus kolosum dan korteks serebri. Masing-masing hemisfer serebri terdiri dari lobus frontalis yang merupakan area motorik primer yang bertanggung jawab untuk gerakan-gerakan voluntar, lobur parietalis yang berperanan pada kegiatan memproses dan mengintegrasi informasi sensorik yang lebih tinggi tingkatnya, lobus temporalis yang merupakan area sensorik untuk impuls pendengaran dan lobus oksipitalis yang mengandung korteks penglihatan primer, menerima informasi penglihatan dan menyadari sensasi warna.<br />
Serebelum terletak di dalam fosa kranii posterior dan ditutupi oleh duramater yang menyerupai atap tenda yaitu tentorium, yang memisahkannya dari bagian posterior serebrum. Fungsi utamanya adalah sebagai pusat refleks yang mengkoordinasi dan memperhalus gerakan otot, serta mengubah tonus dan kekuatan kontraksi untuk mempertahankan keseimbangan sikap tubuh.<br />
Bagian-bagian batang otak dari bawak ke atas adalah medula oblongata, pons dan mesensefalon (otak tengah). Medula oblongata merupakan pusat refleks yang penting untuk jantung, vasokonstriktor, pernafasan, bersin, batuk, menelan, pengeluaran air liur dan muntah. Pons merupakan mata rantai penghubung yang penting pada jaras kortikosereberalis yang menyatukan hemisfer serebri dan serebelum. Mesensefalon merupakan bagian pendek dari batang otak yang berisi aquedikus sylvius, beberapa traktus serabut saraf asenden dan desenden dan pusat stimulus saraf pendengaran dan penglihatan.<br />
Diensefalon di bagi empat wilayah yaitu talamus, subtalamus, epitalamus dan hipotalamus. Talamus merupakan stasiun penerima dan pengintegrasi subkortikal yang penting. Subtalamus fungsinya belum dapat dimengerti sepenuhnya, tetapi lesi pada subtalamus akan menimbulkan hemibalismus yang ditandai dengan gerakan kaki atau tangan yang terhempas kuat pada satu sisi tubuh. Epitalamus berperanan pada beberapa dorongan emosi dasar seseorang. Hipotalamus berkaitan dengan pengaturan rangsangan dari sistem susunan saraf otonom perifer yang menyertai ekspresi tingkah dan emosi. (Sylvia A. Price, 1995)<br />
b. Sirkulasi darah otak<br />
Otak menerima 17 % curah jantung dan menggunakan 20 % konsumsi oksigen total tubuh manusia untuk metabolisme aerobiknya. Otak diperdarahi oleh dua pasang arteri yaitu arteri karotis interna dan arteri vertebralis. Da dalam rongga kranium, keempat arteri ini saling berhubungan dan membentuk sistem anastomosis, yaitu sirkulus Willisi.(Satyanegara, 1998)<br />
Arteri karotis interna dan eksterna bercabang dari arteria karotis komunis kira-kira setinggi rawan tiroidea. Arteri karotis interna masuk ke dalam tengkorak dan bercabang kira-kira setinggi kiasma optikum, menjadi arteri serebri anterior dan media. Arteri serebri anterior memberi suplai darah pada struktur-struktur seperti nukleus kaudatus dan putamen basal ganglia, kapsula interna, korpus kolosum dan bagian-bagian (terutama medial) lobus frontalis dan parietalis serebri, termasuk korteks somestetik dan korteks motorik. Arteri serebri media mensuplai darah untuk lobus temporalis, parietalis dan frontalis korteks serebri.<br />
Arteria vertebralis kiri dan kanan berasal dari arteria subklavia sisi yang sama. Arteri vertebralis memasuki tengkorak melalui foramen magnum, setinggi perbatasan pons dan medula oblongata. Kedua arteri ini bersatu membentuk arteri basilaris, arteri basilaris terus berjalan sampai setinggi otak tengah, dan di sini bercabang menjadi dua membentuk sepasang arteri serebri posterior. Cabang-cabang sistem vertebrobasilaris ini memperdarahi medula oblongata, pons, serebelum, otak tengah dan sebagian diensefalon. Arteri serebri posterior dan cabang-cabangnya memperdarahi sebagian diensefalon, sebagian lobus oksipitalis dan temporalis, aparatus koklearis dan organ-organ vestibular. (Sylvia A. Price, 1995)<br />
Darah vena dialirkan dari otak melalui dua sistem : kelompok vena interna, yang mengumpulkan darah ke Vena galen dan sinus rektus, dan kelompok vena eksterna yang terletak di permukaan hemisfer otak, dan mencurahkan darah, ke sinus sagitalis superior dan sinus-sinus basalis lateralis, dan seterusnya ke vena-vena jugularis, dicurahkan menuju ke jantung. (Harsono, 2000)<br />
<br />
3. Etiologi<br />
Adapun penyebab dari stroke adalah <br />
a. Enurisma yang pecah (ruptura arteria serebri).<br />
b. Malformasi arteriovenosa.<br />
<br />
<br />
<br />
4. Faktor pendukung terjadinya stroke (bleeding)<br />
Adapun faktor pendukung terjadinya stroke adalah<br />
a. Tekanan darah tinggi.<br />
b. Klien yang mendapat pengobatan anti koagulantia.<br />
<br />
5. Gejala klinik<br />
Gejala-gejala yang muncul pada pasien dengan stroke adalah<br />
a. Sakit kepala yang hebat.<br />
b. Wajah asimetris.<br />
c. Tak sadar/ pingsan.<br />
d. Bingung.<br />
e. Lateralisasi/ hemiparese/ paraparese.<br />
f. Gangguan bicara.<br />
<br />
6. Patofisiologi<br />
Hipertensi kronik menyebabkan pembuluh arteriola yang berdiameter 100-400 mcmeter mengalami perubahan patologik pada dinding pembuluh darah tersebut berupa hipohialinosis, nekrosis fibrinoid serta timbulnya aneurisma tipe Bouchard. Arteriol-arteriol dari cabang-cabang lentikulostriata, cabang tembus arterio talamus (talamo perforate arteries) dan cabang-cabang paramedian arteria vertebro-basilaris mengalami perubahan-perubahan degenaratif yang sama. Kenaikan darah yang “abrupt” atau kenaikan dalam jumlah yang secara mencolok dapat menginduksi pecahnya pembuluh darah terutama pada pagi hari dan sore hari.<br />
Jika pembuluh darah tersebut pecah, maka perdarahan dapat berlanjut sampai dengan 6 jam dan jika volumenya besarakan merusak struktur anatomi otak dan menimbulkan gejala klinik.<br />
Jika perdarahan yang timbul kecil ukurannya, maka massa darah hanya dapat merasuk dan menyela di antara selaput akson massa putih tanpa merusaknya. Pada keadaan ini absorbsi darah akan diikutioleh pulihnya fungsi-fungsi neurologi. Sedangkan pada perdarahan yang luas terjadi destruksi massa otak, peninggian tekanan intrakranial dan yang lebih berat dapat menyebabkan herniasi otak pada falk serebri atau lewat foramen magnum.<br />
Kematian dapat disebabkan oleh kompresi batang otak, hemisfer otak, dan perdarahan batang otak sekunder atau ekstensi perdarahan ke batang otak. Perembesan darah ke ventrikel otak terjadi pada sepertiga kasus perdarahan otak di nukleus kaudatus, talamus dan pons.<br />
Selain kerusakan parenkim otak, akibat volume perdarahan yang relatif banyak akan mengakibatkan peninggian tekanan intrakranial dan menyebabkan menurunnya tekanan perfusi otak serta terganggunya drainase otak.<br />
Elemen-elemen vasoaktif darah yang keluar serta kaskade iskemik akibat menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan neuron-neuron di daerah yang terkena darah dan sekitarnya tertekan lagi. Jumlah darah yang keluar menentukan prognosis. Apabila volume darah lebih dari 60 cc maka resiko kematian sebesar 93 % pada perdarahan dalam dan 71 % pada perdarahan lobar. Sedangkan bila terjadi perdarahan serebelar dengan volume antara 30-60 cc diperkirakan kemungkinan kematian sebesar 75 % tetapi volume darah 5 cc dan terdapat di pons sudah berakibat fatal. (Jusuf Misbach, 1999)<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Pathway Stroke<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
(Sylvia Anderson Price, 1982)<br />
7. Komplikasi<br />
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan stroke adalah<br />
a. Hidrosepalus.<br />
b. Disritmia.<br />
c. Afasia.<br />
d. Hemiparese/ paraparese<br />
<br />
8. Dampak masalah<br />
a. Pada individu<br />
1) Gangguan perfusi jaringan otak<br />
Akibat adanya sumbatan pembuluh darah otak, perdarahan otak, vasospasme serebral, edema otak<br />
2) Gangguan mobilitas fisik<br />
Terjadi karena adanya kelemahan, kelumpuhan dan menurunnya persepsi / kognitif<br />
<br />
3) Gangguan komunikasi verbal<br />
Akibat menurunnya/ terhambatnya sirkulasi serebral, kerusakan neuromuskuler, kelemahan otot wajah<br />
4) Gangguan nutrisi<br />
Akibat adanya kesulitan menelan, kehilangan sensasi (rasa kecap) pada lidah, nafsu makan yang menurun.<br />
<br />
5) Gangguan eliminasi uri dan alvi<br />
Dapat terjadi akibat klien tidak sadar, dehidrasi, imobilisasi dan hilangnya kontrol miksi<br />
6) Ketidakmampuan perawatan diri<br />
Akibat adanya kelemahan pada salah satu sisi tubuh, kehilangan koordinasi / kontrol otot, menurunnya persepsi kognitif.<br />
7) Gangguan psikologis<br />
Dapat berupa ketakutan, perasaan tidak berdaya dan putus asa.emosi labil, mudah marah, kehilangan kontrol diri, <br />
8) Gangguan penglihatan<br />
Dapat terjadi karena penurunan ketajaman penglihatan dan gangguan lapang pandang.<br />
b. Pada keluarga<br />
1) Terjadi kecemasan<br />
2) Masalah biaya<br />
3) Gangguan dalam pekerjaan <br />
<br />
B. Asuhan Keperawatan pada pasien dengan Stroke<br />
1. Pengkajian<br />
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan proses keperawatan untuk mengenal masalah klien, agar dapat memberi arah kepada tindakan keperawatan. Tahap pengkajian terdiri dari tiga kegiatan, yaitu pengumpulan data, pengelompokkan data dan perumusan diagnosis keperawatan. (Lismidar, 1990)<br />
a. Pengumpulan data<br />
Pengumpulan data adalah mengumpulkan informasi tentang status kesehatan klien yang menyeluruh mengenai fisik, psikologis, sosial budaya, spiritual, kognitif, tingkat perkembangan, status ekonomi, kemampuan fungsi dan gaya hidup klien. (Marilynn E. Doenges et al, 1998)<br />
1) Identitas klien<br />
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor register, diagnose medis.<br />
2) Keluhan utama<br />
Biasanya didapatkan kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, dan tidak dapat berkomunikasi. (Jusuf Misbach, 1999)<br />
3) Riwayat penyakit sekarang<br />
Serangan stroke hemoragik seringkali berlangsung sangat <br />
mendadak, pada saat klien sedang melakukan aktivitas. Biasanya terjadi nyeri kepala, mual, muntah bahkan kejang sampai tidak sadar, disamping gejala kelumpuhan separoh badan atau gangguan fungsi otak yang lain. (Siti Rochani, 2000) <br />
4) Riwayat penyakit dahulu<br />
Adanya riwayat hipertensi, diabetes militus, penyakit jantung, anemia, riwayat trauma kepala, kontrasepsi oral yang lama, penggunaan obat-obat anti koagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif, kegemukan. (Donna D. Ignativicius, 1995)<br />
5) Riwayat penyakit keluarga<br />
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi ataupun diabetes militus. (Hendro Susilo, 2000)<br />
6) Riwayat psikososial<br />
Stroke memang suatu penyakit yang sangat mahal. Biaya untuk pemeriksaan, pengobatan dan perawatan dapat mengacaukan keuangan keluarga sehingga faktor biaya ini dapat mempengaruhi stabilitas emosi dan pikiran klien dan keluarga.(Harsono, 1996)<br />
7) Pola-pola fungsi kesehatan<br />
a) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat<br />
Biasanya ada riwayat perokok, penggunaan alkohol, penggunaan obat kontrasepsi oral.<br />
b) Pola nutrisi dan metabolisme<br />
Adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun, mual muntah pada fase akut.<br />
c) Pola eliminasi<br />
Biasanya terjadi inkontinensia urine dan pada pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus.<br />
d) Pola aktivitas dan latihan<br />
Adanya kesukaran untuk beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensori atau paralise/ hemiplegi, mudah lelah<br />
e) Pola tidur dan istirahat<br />
Biasanya klien mengalami kesukaran untuk istirahat karena kejang otot/nyeri otot<br />
<br />
f) Pola hubungan dan peran<br />
Adanya perubahan hubungan dan peran karena klien mengalami kesukaran untuk berkomunikasi akibat gangguan bicara.<br />
g) Pola persepsi dan konsep diri<br />
Klien merasa tidak berdaya, tidak ada harapan, mudah marah, tidak kooperatif.<br />
h) Pola sensori dan kognitif<br />
Pada pola sensori klien mengalami gangguan penglihatan/kekaburan pandangan, perabaan/sentuhan menurun pada muka dan ekstremitas yang sakit. Pada pola kognitif biasanya terjadi penurunan memori dan proses berpikir.<br />
i) Pola reproduksi seksual<br />
Biasanya terjadi penurunan gairah seksual akibat dari beberapa pengobatan stroke, seperti obat anti kejang, anti hipertensi, antagonis histamin.<br />
j) Pola penanggulangan stress<br />
Klien biasanya mengalami kesulitan untuk memecahkan masalah karena gangguan proses berpikir dan kesulitan berkomunikasi.<br />
k) Pola tata nilai dan kepercayaan<br />
Klien biasanya jarang melakukan ibadah karena tingkah laku yang tidak stabil, kelemahan/kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh. (Marilynn E. Doenges, 2000)<br />
8) Pemeriksaan fisik<br />
a) Keadaan umum<br />
(1) Kesadaran : umumnya mengelami penurunan kesadaran<br />
(2) Suara bicara : kadang mengalami gangguan yaitu sukar dimengerti, kadang tidak bisa bicara<br />
(3) Tanda-tanda vital : tekanan darah meningkat, denyut nadi bervariasi<br />
b) Pemeriksaan integumen<br />
(1) Kulit : jika klien kekurangan O2 kulit akan tampak pucat dan jika kekurangan cairan maka turgor kulit kan jelek. Di samping itu perlu juga dikaji tanda-tanda dekubitus terutama pada daerah yang menonjol karena klien stroke hemoragik harus bed rest 2-3 minggu<br />
(2) Kuku : perlu dilihat adanya clubbing finger, cyanosis<br />
(3) Rambut : umumnya tidak ada kelainan<br />
c) Pemeriksaan kepala dan leher<br />
(1) Kepala : bentuk normocephalik<br />
(2) Muka : umumnya tidak simetris yaitu mencong ke salah satu sisi<br />
(3) Leher : kaku kuduk jarang terjadi (Satyanegara, 1998)<br />
d) Pemeriksaan dada<br />
Pada pernafasan kadang didapatkan suara nafas terdengar ronchi, wheezing ataupun suara nafas tambahan, pernafasan tidak teratur akibat penurunan refleks batuk dan menelan.<br />
e) Pemeriksaan abdomen<br />
Didapatkan penurunan peristaltik usus akibat bed rest yang lama, dan kadang terdapat kembung.<br />
f) Pemeriksaan inguinal, genetalia, anus<br />
Kadang terdapat incontinensia atau retensio urine<br />
g) Pemeriksaan ekstremitas<br />
Sering didapatkan kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh.<br />
h) Pemeriksaan neurologi<br />
(1) Pemeriksaan nervus cranialis<br />
Umumnya terdapat gangguan nervus cranialis VII dan XII central. <br />
<br />
(2) Pemeriksaan motorik<br />
Hampir selalu terjadi kelumpuhan/kelemahan pada salah satu sisi tubuh.<br />
(3) Pemeriksaan sensorik<br />
Dapat terjadi hemihipestesi.<br />
(4) Pemeriksaan refleks<br />
Pada fase akut reflek fisiologis sisi yang lumpuh akan menghilang. Setelah beberapa hari refleks fisiologis akan muncul kembali didahuli dengan refleks patologis.(Jusuf Misbach, 1999)<br />
9) Pemeriksaan penunjang<br />
a) Pemeriksaan radiologi<br />
(1) CT scan : didapatkan hiperdens fokal, kadang-kadang masuk ventrikel, atau menyebar ke permukaan otak. (Linardi Widjaja, 1993)<br />
(2) MRI : untuk menunjukkan area yang mengalami hemoragik. (Marilynn E. Doenges, 2000)<br />
(3) Angiografi serebral : untuk mencari sumber perdarahan seperti aneurisma atau malformasi vaskuler. (Satyanegara, 1998)<br />
(4) Pemeriksaan foto thorax : dapat memperlihatkan keadaan jantung, apakah terdapat pembesaran ventrikel kiri yang merupakan salah satu tanda hipertensi kronis pada penderita <br />
stroke. (Jusuf Misbach, 1999)<br />
b) Pemeriksaan laboratorium<br />
(1) Pungsi lumbal : pemeriksaan likuor yang merah biasanya dijumpai pada perdarahan yang masif, sedangkan perdarahan yang kecil biasanya warna likuor masih normal (xantokhrom) sewaktu hari-hari pertama. (Satyanegara, 1998)<br />
(2) Pemeriksaan darah rutin<br />
(3) Pemeriksaan kimia darah : pada stroke akut dapat terjadi hiperglikemia. Gula darah dapat mencapai 250 mg dalam serum dan kemudian berangsur-angsur turun kembali. (Jusuf Misbach, 1999)<br />
(4) Pemeriksaan darah lengkap : unutk mencari kelainan pada darah itu sendiri. (Linardi Widjaja, 1993)<br />
<br />
b. Analisa data<br />
Analisa data adalah kemampuan mengkaitkan data dan menghubungkan data tersebut dengan konsep, teori dan prinsip yang relevan untuk membuat kesimpulan dalam menentukan masalah kesehatan dan keperawatan klien. (Nasrul Effendy, 1995)<br />
<br />
2. Diagnosa keperawatan<br />
Diagnosa keperawatan ditetapkan berdasarkan analisa dan interpretasi data yang diperoleh dari pengkajian keperawatan klien. Diagnosa keperawatan memberikan gambaran tentang masalah atau status kesehatan klien yang nyata (aktual) dan kemungkinan akan terjadi (potensial) di mana pemecahannya dapat dilakukan dalam batas wewenang perawat. (Nasrul Effendy, 1995)<br />
Adapun diagnosa yang mungkin muncul adalah : <br />
1) Gangguan perfusi jaringan otak yang berhubungan dengan perdarahan intracerebral. (Marilynn E. Doenges, 2000)<br />
2) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan hemiparese/hemiplagia (Donna D. Ignativicius, 1995)<br />
3) Gangguan persepsi sensori : perabaan yang berhubungan dengan penekanan pada saraf sensori, penurunan penglihatan (Marilynn E. Doenges, 2000)<br />
4) Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan penurunan sirkulasi darah otak (Donna D. Ignativicius, 1995)<br />
5) Gangguan eliminasi alvi(konstipasi) berhubungan dengan imobilisasi, intake cairan yang tidak adekuat (Donna D. Ignativicius, 1995)<br />
6) Resiko gangguan nutrisi berhubungan dengan kelemahan otot mengunyah dan menelan ( Barbara Engram, 1998)<br />
7) Kurangnya pemenuhan perawatan diri yang berhubungan dengan hemiparese/hemiplegi (Donna D. Ignativicius, 1995)<br />
8) Resiko gangguan integritas kulit yang berhubungan tirah baring lama (Barbara Engram, 1998)<br />
9) Resiko ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan penurunan refleks batuk dan menelan.(Lynda Juall Carpenito, 1998)<br />
10) Gangguan eliminasi uri (inkontinensia uri) yang berhubungan dengan penurunan sensasi, disfungsi kognitif, ketidakmampuan untuk berkomunikasi (Donna D. Ignatavicius, 1995) <br />
3. Perencanaan<br />
Rencana asuhan keperawatan merupakan mata rantai antara penetapan kebutuhan klien dan pelaksanaan keperawatan. Dengan demikian rencana <br />
asuhan keperawatan adalah petunjuk tertulis yang menggambarkan secara tepat mengenai rencana tindakan yang dilakukan terhadap klien sesuai dengan kebutuhannya berdasarkan diagnosa keperawatan.<br />
Rencana asuhan keperawatan disusun dengan melibatkan klien secara optimal agar dalam pelaksanaan asuhan keperawatan terjalin suatu kerjasama yang saling membantu dalam proses pencapaian tujuan keperawatan dalam memenuhi kebutuhan klien. (Nasrul Effendy, 1995) <br />
Rencana keperawatan dari diagnosa keperawatan diatas adalah :<br />
a Gangguan perfusi jaringan otak yang berhubungan dengan perdarahan intra cerebral<br />
1) Tujuan :<br />
Perfusi jaringan otak dapat tercapai secara optimal<br />
2) Kriteria hasil :<br />
- Klien tidak gelisah<br />
- Tidak ada keluhan nyeri kepala<br />
- GCS 456<br />
- Tanda-tanda vital normal(nadi : 60-100 kali permenit, suhu: 36-36,7 C, pernafasan 16-20 kali permenit)<br />
3) Rencana tindakan <br />
a) Berikan penjelasan kepada keluarga klien tentang sebab-sebab gangguan perfusi jaringan otak dan akibatnya<br />
b) Anjurkan kepada klien untuk bed rest total<br />
c) Observasi dan catat tanda-tanda vital dan kelainan tekanan intrakranial tiap dua jam<br />
d) Berikan posisi kepala lebih tinggi 15-30 dengan letak jantung (beri bantal tipis)<br />
e) Anjurkan klien untuk menghindari batuk dan mengejan berlebihan<br />
f) Ciptakan lingkungan yang tenang dan batasi pengunjung<br />
g) Kolaborasi dengan tim dokter dalam pemberian obat neuroprotektor<br />
4) Rasional <br />
a) Keluarga lebih berpartisipasi dalam proses penyembuhan <br />
b) Untuk mencegah perdarahan ulang<br />
c) Mengetahui setiap perubahan yang terjadi pada klien secara dini dan untuk penetapan tindakan yang tepat<br />
d) Mengurangi tekanan arteri dengan meningkatkan draimage vena dan memperbaiki sirkulasi serebral<br />
e) Batuk dan mengejan dapat meningkatkan tekanan intra kranial dan potensial terjadi perdarahan ulang<br />
f) Rangsangan aktivitas yang meningkat dapat meningkatkan kenaikan TIK. Istirahat total dan ketenangan mungkin diperlukan untuk pencegahan terhadap perdarahan dalam kasus stroke hemoragik / perdarahan lainnya<br />
g) Memperbaiki sel yang masih viabel<br />
<br />
<br />
b Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan hemiparese/hemiplegia<br />
1) Tujuan :<br />
Klien mampu melaksanakan aktivitas fisik sesuai dengan kemampuannya<br />
2) Kriteria hasil<br />
- Tidak terjadi kontraktur sendi<br />
- Bertambahnya kekuatan otot<br />
- Klien menunjukkan tindakan untuk meningkatkan mobilitas<br />
3) Rencana tindakan <br />
a) Ubah posisi klien tiap 2 jam<br />
b) Ajarkan klien untuk melakukan latihan gerak aktif pada ekstrimitas yang tidak sakit<br />
c) Lakukan gerak pasif pada ekstrimitas yang sakit<br />
d) Berikan papan kaki pada ekstrimitas dalam posisi fungsionalnya<br />
e) Tinggikan kepala dan tangan <br />
f) Kolaborasi dengan ahli fisioterapi untuk latihan fisik klien<br />
4) Rasional<br />
a) Menurunkan resiko terjadinnya iskemia jaringan akibat sirkulasi darah yang jelek pada daerah yang tertekan <br />
b) Gerakan aktif memberikan massa, tonus dan kekuatan otot serta memperbaiki fungsi jantung dan pernapasan<br />
c) Otot volunter akan kehilangan tonus dan kekuatannya bila tidak dilatih untuk digerakkan<br />
c Gangguan persepsi sensori : perabaan yang berhubungan dengan penekanan pada saraf sensori <br />
1) Tujuan :<br />
Meningkatnya persepsi sensorik : perabaan secara optimal.<br />
2) Kriteria hasil :<br />
- Klien dapat mempertahankan tingakat kesadaran dan fungsi persepsi<br />
- Klien mengakui perubahan dalam kemampuan untuk meraba dan merasa<br />
- Klien dapat menunjukkan perilaku untuk mengkompensasi terhadap perubahan sensori<br />
3) Rencana tindakan<br />
a) Tentukan kondisi patologis klien<br />
b) Kaji kesadaran sensori, seperti membedakan panas/dingin, tajam/tumpul, posisi bagian tubuh/otot, rasa persendian<br />
c) Berikan stimulasi terhadap rasa sentuhan, seperti memberikan klien suatu benda untuk menyentuh, meraba. Biarkan klien menyentuh dinding atau batas-batas lainnya.<br />
d) Lindungi klien dari suhu yang berlebihan, kaji adanya lindungan yang berbahaya. Anjurkan pada klien dan keluarga untuk melakukan pemeriksaan terhadap suhu air dengan tangan yang normal<br />
e) Anjurkan klien untuk mengamati kaki dan tangannya bila perlu dan menyadari posisi bagian tubuh yang sakit. Buatlah klien sadar akan semua bagian tubuh yang terabaikan seperti stimulasi sensorik pada daerah yang sakit, latihan yang membawa area yang sakit melewati garis tengah, ingatkan individu untuk merawata sisi yang sakit.<br />
f) Hilangkan kebisingan/stimulasi eksternal yang berlebihan.<br />
g) Lakukan validasi terhadap persepsi klien<br />
4) Rasional <br />
a) Untuk mengetahui tipe dan lokasi yang mengalami gangguan, sebagai penetapan rencana tindakan<br />
b) Penurunan kesadaran terhadap sensorik dan perasaan kinetik berpengaruh terhadap keseimbangan/posisi dan kesesuaian dari gerakan yang mengganggu ambulasi, meningkatkan resiko terjadinya trauma.<br />
c) Melatih kembali jaras sensorik untuk mengintegrasikan persepsi dan intepretasi diri. Membantu klien untuk mengorientasikan bagian dirinya dan kekuatan dari daerah yang terpengaruh.<br />
d) Meningkatkan keamanan klien dan menurunkan resiko terjadinya trauma.<br />
e) Penggunaan stimulasi penglihatan dan sentuhan membantu dalan mengintegrasikan sisi yang sakit.<br />
f) Menurunkan ansietas dan respon emosi yang berlebihan/kebingungan yang berhubungan dengan sensori berlebih.<br />
g) Membantu klien untuk mengidentifikasi ketidakkonsistenan dari persepsi dan integrasi stimulus.<br />
d Gangguan komunikasi verbal yang berhubungan dengan penurunan sirkulasi darah otak<br />
1) Tujuan <br />
Proses komunikasi klien dapat berfungsi secara optimal<br />
2) Kriteria hasil<br />
- Terciptanya suatu komunikasi dimana kebutuhan klien dapat dipenuhi<br />
- Klien mampu merespon setiap berkomunikasi secara verbal maupun isarat<br />
3) Rencana tindakan<br />
a) Berikan metode alternatif komunikasi, misal dengan bahasa isarat<br />
b) Antisipasi setiap kebutuhan klien saat berkomunikasi<br />
c) Bicaralah dengan klien secara pelan dan gunakan pertanyaan yang jawabannya “ya” atau “tidak”<br />
d) Anjurkan kepada keluarga untuk tetap berkomunikasi dengan klien<br />
e) Hargai kemampuan klien dalam berkomunikasi<br />
f) Kolaborasi dengan fisioterapis untuk latihan wicara<br />
4) Rasional <br />
a) Memenuhi kebutuhan komunikasi sesuai dengan kemampuan klien<br />
b) Mencegah rasa putus asa dan ketergantungan pada orang lain<br />
c) Mengurangi kecemasan dan kebingungan pada saat <br />
komunikasi<br />
d) Mengurangi isolasi sosial dan meningkatkan komunikasi yang efektif<br />
e) Memberi semangat pada klien agar lebih sering melakukan komunikasi<br />
f) Melatih klien belajar bicara secara mandiri dengan baik dan benar<br />
e Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan hemiparese/hemiplegi<br />
1) Tujuan<br />
Kebutuhan perawatan diri klien terpenuhi<br />
2) Kriteria hasil<br />
- Klien dapat melakukan aktivitas perawatan diri sesuai dengan kemampuan klien<br />
- Klien dapat mengidentifikasi sumber pribadi/komunitas untuk memberikan bantuan sesuai kebutuhan<br />
3) Rencana tindakan<br />
a) Tentukan kemampuan dan tingkat kekurangan dalam melakukan perawatan diri<br />
b) Beri motivasi kepada klien untuk tetap melakukan aktivitas dan beri bantuan dengan sikap sungguh<br />
c) Hindari melakukan sesuatu untuk klien yang dapat dilakukan klien sendiri, tetapi berikan bantuan sesuai kebutuhan<br />
d) Berikan umpan balik yang positif untuk setiap usaha yang dilakukannya atau keberhasilannya<br />
e) Kolaborasi dengan ahli fisioterapi/okupasi <br />
<br />
4) Rasional <br />
a) Membantu dalam mengantisipasi/merencanakan pemenuhan kebutuhan secara individual<br />
b) Meningkatkan harga diri dan semangat untuk berusaha terus-menerus<br />
c) Klien mungkin menjadi sangat ketakutan dan sangat tergantung dan meskipun bantuan yang diberikan bermanfaat dalam mencegah frustasi, adalah penting bagi klien untuk melakukan sebanyak mungkin untuk diri-sendiri untuk mempertahankan harga diri dan meningkatkan pemulihan<br />
d) Meningkatkan perasaan makna diri dan kemandirian serta mendorong klien untuk berusaha secara kontinyu<br />
e) Memberikan bantuan yang mantap untuk mengembangkan rencana terapi dan mengidentifikasi kebutuhan alat penyokong khusus<br />
f Resiko gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kelemahan otot mengunyah dan menelan<br />
1) Tujuan<br />
Tidak terjadi gangguan nutrisi<br />
2) Kriteria hasil<br />
- Berat badan dapat dipertahankan/ditingkatkan<br />
- Hb dan albumin dalam batas normal<br />
3) Rencana tindakan<br />
a) Tentukan kemampuan klien dalam mengunyah, menelan dan reflek batuk<br />
b) Letakkan posisi kepala lebih tinggi pada waktu, selama dan sesudah makan <br />
c) Stimulasi bibir untuk menutup dan membuka mulut secara manual dengan menekan ringan diatas bibir/dibawah dagu jika dibutuhkan <br />
d) Letakkan makanan pada daerah mulut yang tidak terganggu <br />
e) Berikan makan dengan berlahan pada lingkungan yang tenang<br />
f) Mulailah untuk memberikan makan peroral setengah cair, makan lunak ketika klien dapat menelan air<br />
g) Anjurkan klien menggunakan sedotan meminum cairan<br />
h) Anjurkan klien untuk berpartisipasidalam program latihan/kegiatan<br />
i) Kolaborasi dengan tim dokter untuk memberikan ciran melalui iv atau makanan melalui selang <br />
4) Rasional <br />
a) Untuk menetapkan jenis makanan yang akan diberikan pada klien<br />
b) Untuk klien lebih mudah untuk menelan karena gaya gravitasi <br />
c) Membantu dalam melatih kembali sensori dan meningkatkan kontrol muskuler<br />
d) Memberikan stimulasi sensori (termasuk rasa kecap) yang dapat mencetuskan usaha untuk menelan dan meningkatkan masukan<br />
e) Klien dapat berkonsentrasi pada mekanisme makan tanpa adanya distraksi/gangguan dari luar<br />
f) Makan lunak/cairan kental mudah untuk mengendalikannya didalam mulut, menurunkan terjadinya aspirasi<br />
g) Menguatkan otot fasial dan dan otot menelan dan menurunkan resiko terjadinya tersedak<br />
h) Dapat meningkatkan pelepasan endorfin dalam otak yang meningkatkan nafsu makan<br />
i) Mungkin diperlukan untuk memberikan cairan pengganti dan juga makanan jika klien tidak mampu untuk memasukkan segala sesuatu melalui mulut<br />
<br />
<br />
g Gangguan eliminasi alvi (konstipasi) berhubngan dengan imobilisasi, intake cairan yang tidak adekuat<br />
1) Tujuan<br />
Klien tidak mengalami kopnstipasi<br />
2) Kriteria hasil<br />
- Klien dapat defekasi secara spontan dan lancar tanpa menggunakan obat<br />
- Konsistensi feses lunak<br />
- Tidak teraba masa pada kolon ( scibala )<br />
- Bising usus normal ( 7-12 kali per menit )<br />
3) Rencana tindakan<br />
a) Berikan penjelasan pada klien dan keluarga tentang penyebab konstipasi<br />
b) Auskultasi bising usus <br />
c) Anjurkan pada klien untuk makan makanan yang mengandung serat<br />
d) Berikan intake cairan yang cukup (2 liter perhari) jika tidak ada kontraindikasi <br />
e) Lakukan mobilisasi sesuai dengan keadaan klien <br />
f) Kolaborasi dengan tim dokter dalam pemberian pelunak feses (laxatif, suppositoria, enema)<br />
4) Rasional <br />
a) Klien dan keluarga akan mengerti tentang penyebab obstipasi<br />
b) Bising usus menandakan sifat aktivitas peristaltik<br />
c) Diit seimbang tinggi kandungan serat merangsang peristaltik dan eliminasi reguler<br />
d) Masukan cairan adekuat membantu mempertahankan konsistensi feses yang sesuai pada usus dan membantu eliminasi reguler<br />
e) Aktivitas fisik reguler membantu eliminasi dengan memperbaiki tonus oto abdomen dan merangsang nafsu makan dan peristaltik<br />
f) Pelunak feses meningkatkan efisiensi pembasahan air usus, yang melunakkan massa feses dan membantu eliminasi<br />
h Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring lama<br />
1) Tujuan<br />
Klien mampu mempertahankan keutuhan kulit<br />
2) Kriteria hasil<br />
- Klien mau berpartisipasi terhadap pencegahan luka<br />
- Klien mengetahui penyebab dan cara pencegahan luka<br />
- Tidak ada tanda-tanda kemerahan atau luka<br />
3) Rencana tindakan<br />
a) Anjurkan untuk melakukan latihan ROM (range of motion) dan mobilisasi jika mungkin<br />
b) Rubah posisi tiap 2 jam <br />
c) Gunakan bantal air atau pengganjal yang lunak di bawah daerah-daerah yang menonjol<br />
d) Lakukan masase pada daerah yang menonjol yang baru mengalami tekanan pada waktu berubah posisi<br />
e) Observasi terhadap eritema dan kepucatan dan palpasi area sekitar terhadap kehangatan dan pelunakan jaringan tiap merubah posisi<br />
f) Jaga kebersihan kulit dan seminimal mungkin hindari trauma, panas terhadap kulit<br />
4) Rasional <br />
a) Meningkatkan aliran darah kesemua daerah<br />
b) Menghindari tekanan dan meningkatkan aliran darah<br />
c) Menghindari tekanan yang berlebih pada daerah yang menonjol<br />
d) Menghindari kerusakan-kerusakan kapiler-kapiler<br />
e) Hangat dan pelunakan adalah tanda kerusakan jaringan<br />
f) Mempertahankan keutuhan kulit<br />
<br />
i Resiko terjadinya ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan menurunnya refleks batuk dan menelan, imobilisasi<br />
1) Tujuan :<br />
Jalan nafas tetap efektif.<br />
2) Kriteria hasil :<br />
- Klien tidak sesak nafas<br />
- Tidak terdapat ronchi, wheezing ataupun suara nafas tambahan<br />
- Tidak retraksi otot bantu pernafasan<br />
- Pernafasan teratur, RR 16-20 x per menit<br />
3) Rencana tindakan :<br />
a) Berikan penjelasan kepada klien dan keluarga tentang sebab dan akibat ketidakefektifan jalan nafas<br />
b) Rubah posisi tiap 2 jam sekali<br />
c) Berikan intake yang adekuat (2000 cc per hari)<br />
d) Observasi pola dan frekuensi nafas<br />
e) Auskultasi suara nafas<br />
f) Lakukan fisioterapi nafas sesuai dengan keadaan umum klien<br />
4) Rasional :<br />
a) Klien dan keluarga mau berpartisipasi dalam mencegah terjadinya ketidakefektifan bersihan jalan nafas<br />
b) Perubahan posisi dapat melepaskan sekret dari saluran pernafasan<br />
c) Air yang cukup dapat mengencerkan sekret<br />
d) Untuk mengetahui ada tidaknya ketidakefektifan jalan nafas<br />
e) Untuk mengetahui adanya kelainan suara nafas<br />
f) Agar dapat melepaskan sekret dan mengembangkan paru-paru<br />
<br />
<br />
j Gangguan eliminasi uri (incontinensia uri) yang berhubungan dengan penurunan sensasi, disfungsi kognitif, ketidakmampuan untuk berkomunikasi.<br />
<br />
1) Tujuan :<br />
Klien mampu mengontrol eliminasi urinya<br />
2) Kriteria hasil :<br />
- Klien akan melaporkan penurunan atau hilangnya inkontinensia<br />
- Tidak ada distensi bladder<br />
3) Rencana tindakan :<br />
a) Identifikasi pola berkemih dan kembangkan jadwal berkemih sering<br />
b) Ajarkan untuk membatasi masukan cairan selama malam hari<br />
c) Ajarkan teknik untuk mencetuskan refleks berkemih (rangsangan kutaneus dengan penepukan suprapubik, manuver regangan anal)<br />
d) Bila masih terjadi inkontinensia, kurangi waktu antara berkemih pada jadwal yang telah direncanakan<br />
e) Berikan penjelasan tentang pentingnya hidrasi optimal (sedikitnya 2000 cc per hari bila tidak ada kontraindikasi)<br />
4) Rasional :<br />
a) Berkemih yang sering dapat mengurangi dorongan dari distensi kandung kemih yang berlebih<br />
b) Pembatasan cairan pada malam hari dapat membantu mencegah enuresis<br />
c) Untuk melatih dan membantu pengosongan kandung kemih<br />
d) Kapasitas kandung kemih mungkin tidak cukup untuk menampung volume urine sehingga memerlukan untuk lebih sering berkemih<br />
e) Hidrasi optimal diperlukan untuk mencegah infeksi saluran perkemihan dan batu ginjal.<br />
4. Pelaksanaan<br />
Pada tahap ini dilakukan pelaksanaan dari perencanaan keperawatan yang telah ditentukan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan klien secara optimal. Pelaksanaan adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan yang telah di susun pada tahap pencanaan. (Nasrul Effendy, 1995)<br />
5. Evaluasi<br />
Evaluasi merupakan langkah akhir dalam proses keperawatan. Evaluasi adalah kegiatan yang di sengaja dan terus-menerus dengan melibatkan klien, perawat, dan anggota tim kesehatan lainnya. Dalam hal ini diperlukan pengetahuan tentang kesehatan, patofisiologi, dan strategi evaluasi. Tujuan evaluasi adalah untuk menilai apakah tujuan dalam rencana keperawatan tercapai atau tidak dan untuk melakukan pengkajian ulang. (Lismidar, 1990).<br />
<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
<br />
<br />
<br />
Ali, Wendra (1999). Petunjuk Praktis Rehabilitasi Penderita Stroke, Bagian Neurologi FKUI /RSCM,UCB Pharma Indonesia, Jakarta.<br />
<br />
Brunner / Suddarth., (1984). Medical Surgical Nursing. JB Lippincot Company, Philadelphia.<br />
<br />
Carpenito, Lynda Juall. (2000). Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8, EGC, Jakarta.<br />
<br />
Depkes RI. (1996). Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem Persarafan. Diknakes, Jakarta.<br />
<br />
Doenges, M.E.,Moorhouse M.F.,Geissler A.C. (2000). Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, EGC, Jakarta.<br />
<br />
Donnad. (1991). Medical Surgical Nursing. WB Saunders.<br />
<br />
Engram, Barbara. (1998). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Volume 3, EGC, Jakarta.<br />
<br />
Harsono. (1996). Buku Ajar Neurologi Klinis. Edisi 1, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.<br />
<br />
Harsono. (2000). Kapita Selekta Neurologi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.<br />
<br />
Hudak C.M.,Gallo B.M. (1996). Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik. Edisi VI, Volume II, EGC, Jakarta.<br />
<br />
Ignatavicius D.D., Bayne M.V. (1991). Medical Surgical Nursing, A Nursing Process Approach An HBJ International Edition, W.B. Saunders Company, Philadelphia.<br />
<br />
Ignatavicius D.D., Workman M.L., Mishler M.A. (1995). Medical Surgical Nursing, A Nursing Process Approach. 2nd edition, W.B. Saunders Company, Philadelphia.<br />
<br />
Islam, Mohammad Saiful. (1998). Stroke : Diagnosis Dan Penatalaksanaannya. Lab/SMF Ilmu Penyakit Saraf, FK Unair/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya.<br />
<br />
Juwono, T. (1996). Pemeriksaan Klinik Neurologik Dalam Praktek. EGC, Jakarta.<br />
<br />
Lismidar, (1990). Proses Keperawatan, Universitas Indonesia, Jakarta.<br />
<br />
Mardjono M., Sidharta P. (1981). Neurologi Klinis Dasar. PT Dian Rakyat, Jakarta.<br />
<br />
Price S.A., Wilson L.M. (1995). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 4, Buku II, EGC, Jakarta.<br />
<br />
Rochani, Siti. (2000). Simposium Nasional Keperawatan Perhimpunan Perawat Bedah Saraf Indonesia. Surabaya.<br />
Satyanegara. (1998). Ilmu Bedah Saraf, Edisi Ketiga. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.<br />
<br />
Susilo, Hendro. (2000). Simposium Stroke, Patofisiologi Dan Penanganan Stroke, Suatu Pendekatan Baru Millenium III. Bangkalan.<br />
<br />
Widjaja, Linardi. (1993). Patofisiologi dan Penatalaksanaan Stroke. Lab/UPF Ilmu Penyakit Saraf, FK Unair/RSUD Dr. Soetomo, Surabaya.Aca.Erlind_Dolphinhttp://www.blogger.com/profile/04320514247346944932noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2170963300141287609.post-19096109253556078582011-03-08T18:57:00.001-08:002011-03-08T19:10:01.347-08:00ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN POST CRANIOTOMY SDHKONSEP POST CRANIOTOMY SDH<br />
<br />
<br />
<br />
A. Pengertian<br />
1. Pengertian Craniotomy<br />
Menurut Brown CV, Weng J, Craniotomy adalah Operasi untuk membuka tengkorak (tempurung kepala) dengan maksud untuk mengetahui dan memperbaiki kerusakan otak. Menurut Hamilton MG, Frizzell JB, Tranmer BI, Craniectomy adalah operasi pengangkatan sebagian tengkorak. Sedangkan menurut Chesnut RM, Gautille T, Blunt BA, Craniotomi adalah prosedur untuk menghapus luka di otak melalui lubang di tengkorak (kranium). Dari ketiga pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian dari Craniotomi adalah Operasi membuka tengkorak (tempurung kepala) untuk mengetahui dan memperbaiki kerusakan yang diakibatkan oleh adanya luka yang ada di otak.<br />
2. Pengertian SDH (Subdural Hematoma)<br />
Hematoma subdural adalah akumulasi darah dibawah lapisan duramater dan di atas lapisan arakhnoid, yang disebabkan oleh robekan permukaan vena atau pengeluaran kumpulan darah vena. <br />
Jadi pengertian dari Post Craniotomy SDH adalah Operasi membuka tengkorak (tempurung kepala) untuk mengetahui dan memperbaiki kerusakan yang diakibatkan oleh adanya akumulasi darah dibawah lapisan duramater dan di atas lapisan arakhnoid yang disebabkan oleh robekan permukaan vena atau pengeluaran kumpulan darah vena.<br />
<br />
B. Tujuan<br />
Craniotomi adalah jenis operasi otak. Ini adalah operasi yang paling umum dilakukan untuk otak pengangkatan tumor. Operasi ini juga dilakukan untuk menghilangkan bekuan darah (hematoma), untuk mengendalikan perdarahan dari pembuluh, darah lemah bocor (aneurisma serebral), untuk memperbaiki malformasi arteriovenosa (koneksi abnormal dari pembuluh darah), untuk menguras abses otak, untuk mengurangi tekanan di dalam tengkorak, untuk melakukan biopsi, atau untuk memeriksa otak.<br />
<br />
C. Etiologi<br />
Etiologi dilakukannya Craniotomy karena<br />
1. Adanya benturan kepala yang diam terhadap benda yang sedang bergerak. Misalnya pukulan-pukulan benda tumpul, kena lemparan benda tumpul.<br />
2. Kepala membentur benda atau objek yang secara relative tidak bergerak. Misalnya membentur tanah atau mobil.<br />
3. Kombinasi keduanya.<br />
<br />
D. Tanda dan Gejala Subdural Hematoma<br />
Tanda dan gejala dari Subdural Hematoma adalah Nyeri kepala, bingung, mengantuk, menarik diri, berfikir lambat, kejang dan edema pupil.<br />
<br />
E. Pembagian Subdural Hematoma<br />
Subdural Hematoma dibagi menjadi tiga tingkat, antara lain :<br />
1. Hematoma Subdural Akut<br />
Trauma yang merobek duramater dan arachnoid sehingga darah dan CSS masuk ke dalam ruang subdural. Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak. Keadaan ini menimbulkan berhentinya pernafasan dan hilangnya kontrol denyut nadi dan tekanan darah. Cedera ini menunjukkan gejala dalam 24 – 48 jam setelah trauma. Diagnosis dibuat dengan arteriogram karotis dan ekoensefalogram / CT Scan, pengobatan terutama tindakan bedah.<br />
Lebih dari sepertiga pasien mempunyai lucid interval yang berakhir dalam menit atau hitungan jam sebelum koma, tetapi kebanyakan komatose didapatkan dari saat kejadian. Trauma cranial langsung dapat minor dan tidak dibutuhkan perdarahan subdural akut untuk timbul, terutama pada orang tua dan mereka yang menggunakan medikasi antikoagulan. Tahanan Akselerasi sendiri, dari kejadian, terkadang cukup untuk menimbulkan suatu perdarahan subdural. Nyeri kepala sebelah dan pembesaran pupil pada sisi yang sama adalah lebih sering tetapi tidak tampak seringnya. Stupor atau koma, hemiparesis, dan pembesaran pupil merupakan tanda dari hematoma yang besar. Pada pasien deteriorisasi akut, burr holes atau pada craniotomy dibutuhkan. Hematoma subdural kecil dapat menjadi asimptomatik dan biasanya tidak membutuhkan evakuasi.<br />
2. Hematoma Subdural Subakut<br />
Perdarahan ini menyebabkan devisit neurologik yang bermakna dalam waktu lebih dari 48 jam. Peningkatan tekanan intra kranial disebabkan oleh akumulasi darah akan menimbulkan herniasi ulkus / sentral dan melengkapi tanda – tanda neurologik dari kompresi batang otak. Pengobatan ini dengan pengangkatan bekuan darah. Sindrom yang melibatkan sub akut akibat sindroma hematom subdural timbul berhari-hari setelah gangguan dengan nyeri kepala, atau hemiparesis ringan; hal ini biasanya meningkat pada alkoholik dan pada orang tua, seringkali setelah trauma minor. <br />
Pada studi imaging tampak pengumpulan crescentik melewati konveksitas pada satu atau kedua hemisfer, tetapi lebih sering pada wilayah frontotemporal, dan sedikit sering pada fosa mid inferior atau melalui oksipital. Interhemispheric, posterior fossa, atau bilateral convexity hematomas sedikit lebih sering dan sulit untuk didiagnosa secara klinis, meskipun tanda yang diharapkan pada setiap kerusakan wilayah biasanya dapat dideteksi. Perdarahan yang dapat menyebabkan hematoma yang besar aslinya merupakan vena, meskipun perdarahan arterial tambahan ditempat terkadang ditemukan pada saat operasi dan beberapa hematoma yang besar memang berasal dari arteri. <br />
3. Hematoma subdural Kronik<br />
Timbulnya gejala ini pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan, dan tahun setelah cedera pertama. Perluasan ini massa terjadi pada kebocoran kapiler lambat. Gejala umum meliputi sakit kepala, letargi, kacau mental, kejang, dan kadang – kadang disfasia. Diagnosis dibuat dengan arteriografi. Pada klien dengan hematoma kecil tanpa tanda–tanda neurologik, maka tindakan pengobatan yang terbaik adalah melakukan pemantauan ketat. Sedangkan klien dengan gangguan neurologik yang progresif dan gejala kelemahan, cara pengobatan yang terbaik adalah pembedahan.<br />
Observasi klinis yang digandakan dengan imaging serial merupakan pendekatan yang berasan dengan beberapa gejala dan koleksi subdural kronik yang sedikit. Terapi dengan glukokortikoid sendiri cukup untuk beberapa hematoma, tetapi evakuasi pembedahan lebih sering berhasil. Membrane fibrous yang tumbuh dari dura dan pengumpulan yang tidak berkapsul membutuhka n pemindahan untuk mencugah akumulasi cairan berulang. Hematoma kecil diabsorbsi, sisa yang tinggal hanyalah membrane yang terorganisasi. Pada studi imaging hematoma subdural kronik dapat sulit untuk dibedakan dengan higroma, dimana pengumpulan CSF didapatkan dari membrane arachnoid. Sebagaimana disebutkan, kerusakan korteks dengan penyebab mendasar hematoma kronik dapat timbul sebagai focus kejang kemudian. <br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Karena pembagian di atas sukar diterapkan di klinis terutama dalam rangka “ triage “ maka lebih realistis bila pembagian berdasarkan tingkat kesadaran meskipun terdapat beberapa kekurangan yaitu :<br />
a. Cedera Kepala Berat<br />
1) GCS 3-8<br />
2) Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia > 24 jam.<br />
3) Juga meliputi kontusio celebral, laserasi, atau hematoma intracranial<br />
b. Cedera Kepala Sedang<br />
1) GCS 9-12<br />
2) Kehilangan kesadaran dan atau amnesia >30 menit tetapi kurang dari 24 jam<br />
c. Cedera Kepala Ringan<br />
1) GCS 13-15<br />
2) Kehilangan kesadaran/amnesia <30 menit.<br />
3) Tidak ada fraktur tengkorak.<br />
4) Tidak ada kontusio celebral, hematoma<br />
d. Perdarahan Intrakranial dengan GCS : Cedera Ringan/sedang dianggap sebagai cedera kepala berat.<br />
<br />
F. Proses penyembuhan luka<br />
1. Fase pertama<br />
Berlangsung sampai hari ke 3. Batang lekosit banyak yang rusak / rapuh. Sel-sel darah baru berkembang menjadi penyembuh dimana serabut-serabut bening digunakan sebagai kerangka.<br />
2. Fase kedua<br />
Dari hari ke 3 sampai hari ke 14. Pengisian oleh kolagen, seluruh pinggiran sel epitel timbul sempurna dalam 1 minggu. Jaringan baru tumbuh dengan kuat dan kemerahan.<br />
3. Fase ketiga<br />
Sekitar 2 sampai 10 minggu. Kolagen terus-menerus ditimbun, timbul jaringan-jaringan baru dan otot dapat digunakan kembali.<br />
4. Fase keempat<br />
Fase keempat adalah fase terakhir. Penyembuhan akan menyusut dan mengkerut.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
G. Pathway<br />
<br />
TIK - oedem<br />
Etiologi - hematom<br />
Respon biologi Hypoxemia<br />
Cidera kepala <br />
Kelainan metabolisme<br />
Cidera otak primer Cidera otak sekunder<br />
Kontusio<br />
Laserasi Kerusakan cel otak <br />
<br />
<br />
Gangguan autoregulasi rangsangan simpatis Stress<br />
<br />
Aliran darah keotak tahanan vaskuler katekolamin<br />
Sistemik & TD sekresi asam lambung<br />
<br />
O2 ggan metabolisme tek. Pemb.darah Mual, muntah<br />
Pulmonal<br />
<br />
Asam laktat tek. Hidrostatik Asupan nutrisi kurang<br />
<br />
Oedem otak kebocoran cairan kapiler<br />
<br />
Ggan perfusi jaringan oedema paru cardiac out put <br />
Cerebral <br />
Difusi O2 terhambat Ggan perfusi jaringan<br />
<br />
Gangguan pola napas hipoksemia, hiperkapnea<br />
<br />
H. Komplikasi post operasi craniotomi<br />
Komplikasi yang mungkin timbul pada pasien post operasi craniotomi antara lain :<br />
1. Edema cerebral<br />
2. Perdarahan subdural, epidural, dan intracerebral<br />
3. Hypovolemik syok<br />
4. Hydrocephalus<br />
5. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit (SIADH atau Diabetes Insipidus)<br />
6. Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis.<br />
Tromboplebitis postoperasi biasanya timbul 7 - 14 hari setelah operasi. Bahaya besar tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas dari dinding pembuluh darah vena dan ikut aliran darah sebagai emboli ke paru-paru, hati, dan otak. Pencegahan tromboplebitis yaitu latihan kaki post operasi, ambulatif dini.<br />
7. Infeksi.<br />
Infeksi luka sering muncul pada 36 - 46 jam setelah operasi. Organisme yang paling sering menimbulkan infeksi adalah stapilokokus aurens, organisme; gram positif. Stapilokokus mengakibatkan pernanahan. Untuk menghindari infeksi luka yang paling penting adalah perawatan luka dengan memperhatikan aseptik dan antiseptik.<br />
8. Kerusakan integritas kulit sehubungan dengan dehisensi luka atau eviserasi.<br />
Dehisensi luka merupakan terbukanya tepi-tepi luka. Eviserasi luka adalah keluarnya organ-organ dalam melalui insisi. Faktor penyebab dehisensi atau eviserasi adalah infeksi luka, kesalahan menutup waktu pembedahan.<br />
<br />
<br />
<br />
I. Penatalaksanaan <br />
1. Penatalaksanaan Perawatan<br />
Penatalaksanaan Perawatan pada pasien post operasi Craniotomi adalah<br />
a. Mengurangi komplikasi akibat pembedahan.<br />
b. Mempercepat penyembuhan.<br />
c. Mengembalikan fungsi pasien semaksimal mungkin seperti sebelum operasi.<br />
d. Mempertahankan konsep diri pasien.<br />
e. Mempersiapkan pasien pulang.<br />
2. Penatalaksanaan medis<br />
Penatalaksanaan medis pada pasien post craniotomy antara lain<br />
a. Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai dengan berat ringanya trauma.<br />
b. Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurnagi vasodilatasi.<br />
c. Pengobatan anti edema dnegan larutan hipertonis yaitu manitol 20 % atau glukosa 40 % atau gliserol 10 %.<br />
d. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisillin) atau untuk infeksi anaerob diberikan metronidasol.<br />
e. Makanan atau cairan, Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrosa 5 %, amnifusin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2 - 3 hari kemudian diberikan makanan lunak.<br />
f. Pada trauma berat. Karena hari-hari pertama didapat penderita mengalami penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit maka hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan. Dextosa 5 % 8 jam pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua dan dextrosa 5 % 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah makanan diberikan melalui nasogastric tube (2500 - 3000 TKTP). Pemberian protein tergantung nilai ure nitrogennya.<br />
g. Pembedahan.<br />
3. Penatalaksanaan konservatif<br />
Penatalaksanaan konservatif pada pasien post craniotomy antara lain<br />
a. Bedrest total <br />
b. Pemberian obat-obatan<br />
c. Observasi tanda-tanda vital dan tingkat kesadaran.<br />
<br />
J. Perawatan Pasca Pembedahan<br />
Perawatan Pasca Operasi pada pasien craniostomi antara lain<br />
1. Tindakan keperawatan post operasi<br />
a. Monitor kesadaran, tanda-tanda vital, CVP, intake dan output<br />
b. Observasi dan catat sifat darai drain (warna, jumlah) drainage.<br />
c. Dalam mengatur dan menggerakan posisi pasien harus hati-hati, jangan sampai drain tercabut.<br />
d. Perawatan luka operasi secara steril.<br />
2. Makanan<br />
Pada pasien pasca pembedahan biasanya tidak diperkenankan menelan makanan sesudah pembedahan. makanan yang dianjurkan pada pasien post operasi adalah makanan tinggi protein dan vitamin C. Protein sangat diperlukan pada proses penyembuhan luka, sedangkan vitamin C yang mengandung antioksidan membantu meningkatkan daya tahan tubuh untuk pencegahan infeksi. Pembatasan diit yang dilakukan adalah NPO (nothing peroral). Biasanya makanan baru diberikan jika Perut tidak kembung, Peristaltik usus normal, Flatus positif, dan Bowel movement positif<br />
3. Mobilisasi<br />
Biasanya pasien diposisikan untuk berbaring ditempat tidur agar keadaanya stabil. Biasanya posisi awal adalah terlentang, tapi juga harus tetap dilakukan perubahan posisi agar tidak terjadi dekubitus. Pasien yang menjalani pembedahan abdomen dianjurkan untuk melakukan ambulasi dini. <br />
4. Pemenuhan kebutuhan eliminasi<br />
a. Sistem Perkemihan.<br />
Kontrol volunter fungsi perkemihan kembali setelah 6 – 8 jam post anesthesia inhalasi, IV, spinal.<br />
b. Sistem Gastrointestinal.<br />
1) 40 % klien dengan GA selama 24 jam pertama dapatMual muntah menyebabkan stress dan iritasi luka GI dan dapat meningkatkan TIK pada bedah kepala dan leher serta TIO meningkat.<br />
2) Kaji fungsi gastro intestinal dengan auskultasi suara usus.<br />
3) jumlah, warna, konsistensi isi lambung tiap 6 – 8 jam.<br />
4) Insersi NG tube intra operatif mencegah komplikasi post operatif dengan decompresi dan drainase lambung.<br />
c. Meningkatkan istirahat.<br />
d. Memberi kesempatan penyembuhan pada GI trac bawah.<br />
e. Memonitor perdarahan.<br />
f. Mencegah obstruksi usus.<br />
g. Irigasi atau pemberian obat.<br />
<br />
K. Kriteria Evaluasi<br />
Hasil yang diharapkan setelah perawatan pasien post operasi, meliputi;<br />
1. Tidak timbul nyeri luka selama penyembuhan.<br />
2. Luka insisi normal tanpa infeksi.<br />
3. Tidak timbul komplikasi.<br />
4. Pola eliminasi lancar.<br />
5. Pasien tetap dalam tingkat optimal tanpa cacat.<br />
6. Kehilangan berat badan minimal atau tetap normal.<br />
7. Sebelum pulang, pasien mengetahui tentang :<br />
a) Pengobatan lanjutan.<br />
b) Jenis obat yang diberikan.<br />
c) Diet.<br />
d) Batas kegiatan dan rencana kegiatan di rumah.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Asuhan Keperawatan pada pasien dengan Post Craniotomy SDH<br />
<br />
<br />
<br />
A. PENGKAJIAN<br />
Pengumpulan data klien baik subyektif atau obyektif pada gangguan sistem persarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada bentuk, lokasi, jenis injuri dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya. Data yang perlu didapati adalah sebagai berikut :<br />
<br />
1. Identitas klien dan keluarga (penanggung jawab): nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa, status perkawinan, alamat, golongan darah, pengahasilan, hubungan klien dengan penanggung jawab.<br />
2. Riwayat kesehatan :<br />
Tingkat kesadaran/GCS (< 15), konvulsi, muntah, dispnea / takipnea, sakit kepala, wajah simetris / tidak, lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi sekret pada saluran napas, adanya liquor dari hidung dan telinga dan kejang.Riwayat penyakit dahulu haruslah diketahui baik yang berhubungan dengan sistem persarafan maupun penyakit sistem sistemik lainnya. demikian pula riwayat penyakit keluarga terutama yang mempunyai penyakit menular.<br />
Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dari klien atau keluarga sebagai data subyektif. Data-data ini sangat berarti karena dapat mempengaruhi prognosa klien.<br />
3. Pemeriksaan Fisik<br />
Aspek neurologis yang dikaji adalah tingkat kesadaran, biasanya GCS < 15, disorientasi orang, tempat dan waktu. Adanya refleks babinski yang positif, perubahan nilai tanda-tanda vital kaku kuduk, hemiparese. Nervus cranialis dapat terganggu bila cedera kepala meluas sampai batang otak karena udema otak atau perdarahan otak juga mengkaji nervus I, II, III, V, VII, IX, XII.<br />
a. BREATHING<br />
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing ( kemungkinana karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada jalan napas.<br />
b. BLOOD<br />
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia).<br />
c. BRAIN<br />
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi adanya gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang otak akan terjadi gangguan pada nervus cranialis, maka dapat terjadi : <br />
1) Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian, konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan memori).<br />
2) Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia.<br />
3) Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata.<br />
4) Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.<br />
5) Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus vagus menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.<br />
6) Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan. <br />
d. BLADER<br />
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia uri, ketidakmampuan menahan miksi.<br />
e. BOWEL<br />
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah (mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera. Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya proses eliminasi alvi.<br />
f. BONE<br />
Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi. Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan dapat pula terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi karena rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak dengan refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi penurunan tonus otot.<br />
4. Pemeriksaan Penunjang<br />
a. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) : mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri.<br />
b. MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.<br />
c. Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.<br />
d. Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis.<br />
e. X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.<br />
f. BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil.<br />
g. PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak.<br />
h. CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.<br />
i. ABGs: Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intracranial.<br />
j. Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrkranial.<br />
k. Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan kesadaran.<br />
<br />
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN<br />
Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul adalah:<br />
1. Tidak efektifnya pola napas sehubungan dengan efek anestesi.<br />
2. Tidak efektifnya kebersihan jalan napas sehubungan dengan penumpukan sputum.<br />
3. Resiko tinggi terhadap infeksi b.d jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif. Penurunan kerja silia, stasis cairan tubuh.<br />
4. Keterbatasan aktifitas sehubungan dengan penurunan kesadaran (soporos - coma).<br />
5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan luka insisi.<br />
<br />
C. INTERVENSI<br />
1. Tidak efektifnya pola napas sehubungan dengan efek anestesi<br />
Tujuan : <br />
Mempertahankan pola napas yang efektif melalui ventilator.<br />
Kriteria evaluasi :<br />
Penggunaan otot bantu napas tidak ada, sianosis tidak ada atau tanda-tanda hipoksia tidak ada dan gas darah dalam batas-batas normal.<br />
Rencana tindakan :<br />
a. Hitung pernapasan pasien dalam satu menit. pernapasan yang cepat dari pasien dapat menimbulkan alkalosis respiratori dan pernapasan lambat meningkatkan tekanan Pa Co2 dan menyebabkan asidosis respiratorik.<br />
b. Cek pemasangan tube, untuk memberikan ventilasi yang adekuat dalam pemberian tidal volume.<br />
c. Observasi ratio inspirasi dan ekspirasi pada fase ekspirasi biasanya 2 x lebih panjang dari inspirasi, tapi dapat lebih panjang sebagai kompensasi terperangkapnya udara terhadap gangguan pertukaran gas.<br />
d. Perhatikan kelembaban dan suhu pasien keadaan dehidrasi dapat mengeringkan sekresi / cairan paru sehingga menjadi kental dan meningkatkan resiko infeksi.<br />
e. Cek selang ventilator setiap waktu (15 menit), adanya obstruksi dapat menimbulkan tidak adekuatnya pengaliran volume dan menimbulkan penyebaran udara yang tidak adekuat.<br />
f. Siapkan ambu bag tetap berada di dekat pasien, membantu membarikan ventilasi yang adekuat bila ada gangguan pada ventilator. <br />
<br />
<br />
<br />
2. Tidak efektifnya kebersihan jalan napas sehubungan dengan penumpukan sputum.<br />
Tujuan :<br />
Mempertahankan jalan napas dan mencegah aspirasi<br />
Kriteria Evaluasi :<br />
Suara napas bersih, tidak terdapat suara sekret pada selang dan bunyi alarm karena peninggian suara mesin, sianosis tidak ada.<br />
Rencana tindakan :<br />
a. Kaji dengan ketat (tiap 15 menit) kelancaran jalan napas. Obstruksi dapat disebabkan pengumpulan sputum, perdarahan, bronchospasme atau masalah terhadap tube.<br />
b. Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi dada (tiap 1 jam ). Pergerakan yang simetris dan suara napas yang bersih indikasi pemasangan tube yang tepat dan tidak adanya penumpukan sputum.<br />
c. Lakukan pengisapan lendir dengan waktu kurang dari 15 detik bila sputum banyak. Pengisapan lendir tidak selalu rutin dan waktu harus dibatasi untuk mencegah hipoksia.<br />
d. Lakukan fisioterapi dada setiap 2 jam. Meningkatkan ventilasi untuk semua bagian paru dan memberikan kelancaran aliran serta pelepasan sputum.<br />
3. Resiko tinggi terhadap infeksi b.d jaringan trauma, kulit rusak, prosedur invasif. <br />
Tujuan: <br />
Mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda infeksi.<br />
Kriteria evaluasi:<br />
Mencapai penyembuhan luka tepat waktu<br />
a. Berikan perawatan aseptik dan antiseptik, pertahankan tehnik cuci tangan yang baik.<br />
b. Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan, daerah yang terpasang alat invasi, catat karakteristik dari drainase dan adanya inflamasi.<br />
c. Pantau suhu tubuh secara teratur, catat adanya demam, menggigil, diaforesis dan perubahan fungsi mental (penurunan kesadaran).<br />
d. Anjurkan untuk melakukan napas dalam, latihan pengeluaran sekret paru secara terus menerus. Observasi karakteristik sputum.<br />
e. Berikan antibiotik sesuai indikasi<br />
<br />
4. Keterbatasan aktifitas sehubungan dengan penurunan kesadaran (soporos - coma ) <br />
Tujuan :<br />
Kebutuhan dasar pasien dapat terpenuhi secara adekuat.<br />
Kriteria hasil :<br />
Kebersihan terjaga, kebersihan lingkungan terjaga, nutrisi terpenuhi sesuai dengan kebutuhan, oksigen adekuat.<br />
Rencana Tindakan :<br />
a. Berikan penjelasan tiap kali melakukan tindakan pada pasien. <br />
Penjelasan dapat mengurangi kecemasan dan meningkatkan kerja sama yang dilakukan pada pasien dengan kesadaran penuh atau menurun.<br />
b. Beri bantuan untuk memenuhi kebersihan diri.<br />
Kebersihan perorangan, eliminasi, berpakaian, mandi, membersihkan mata dan kuku, mulut, telinga, merupakan kebutuhan dasar akan kenyamanan yang harus dijaga oleh perawat untuk meningkatkan rasa nyaman, mencegah infeksi dan keindahan.<br />
c. Berikan bantuan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan.<br />
Makanan dan minuman merupakan kebutuhan sehari-hari yang harus dipenuhi untuk menjaga kelangsungan perolehan energi. Diberikan sesuai dengan kebutuhan pasien baik jumlah, kalori, dan waktu.<br />
d. Jelaskan pada keluarga tindakan yang dapat dilakukan untuk menjaga lingkungan yang aman dan bersih.<br />
Keikutsertaan keluarga diperlukan untuk menjaga hubungan klien - keluarga. Penjelasan perlu agar keluarga dapat memahami peraturan yang ada di ruangan.<br />
e. Berikan bantuan untuk memenuhi kebersihan dan keamanan lingkungan.<br />
Lingkungan yang bersih dapat mencegah infeksi dan kecelakaan.<br />
<br />
5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan luka insisi.<br />
Tujuan :<br />
Gangguan integritas kulit tidak terjadi<br />
Rencana tindakan :<br />
a. Kaji fungsi motorik dan sensorik pasien dan sirkulasi perifer untuk menetapkan kemungkinan terjadinya lecet pada kulit.<br />
b. Kaji kulit pasien setiap 8 jam : palpasi pada daerah yang tertekan.<br />
c. Berikan posisi dalam sikap anatomi dan gunakan tempat kaki untuk daerah yang menonjol.<br />
d. Ganti posisi pasien setiap 2 jam<br />
e. Pertahankan kebersihan dan kekeringan pasien : keadaan lembab akan memudahkan terjadinya kerusakan kulit.<br />
f. Massage dengan lembut di atas daerah yang menonjol setiap 2 jam sekali.<br />
g. Pertahankan alat-alat tenun tetap bersih dan tegang.<br />
h. Kaji daerah kulit yang lecet untuk adanya eritema, keluar cairan setiap 8 jam.<br />
i. Berikan perawatan kulit pada daerah yang rusak / lecet setiap 4 - 8 jam dengan menggunakan H2O2.<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
DAFTAR PUSTAKA<br />
<br />
<br />
Abdul Hafid (1989), Strategi Dasar Penanganan Cidera Otak. PKB Ilmu Bedah XI – Traumatologi , Surabaya.<br />
<br />
Asikin Z (1991) Simposium Keperawatan Penderita Cedera Kepala. Panatalaksanaan Penderita dengan Alat Bantu Napas, Jakarta.<br />
<br />
Brain Trauma Foundation, AANS, Joint Section of Neurotrauma and Critical Care. Guidelines for the management of severe head injury. J Neurotrauma. Nov 1996.<br />
<br />
Brown CV, Weng J, Oh D, et al. Does routine serial computed tomography of the head influence management of traumatic brain injury? A prospective evaluation. J Trauma. Nov 2004.<br />
<br />
Bullock MR, Chesnut R, Ghajar J, et al. Surgical management of acute subdural hematomas. Neurosurgery. Mar 2006.<br />
<br />
Chesnut RM, Gautille T, Blunt BA, et al. The localizing value of asymmetry in pupillary size in severe head injury: relation to lesion type and location. Neurosurgery. May 1994.<br />
<br />
Guilburd JN, Sviri GE. Role of dural fenestrations in acute subdural hematoma. J Neurosurg. Aug 2001.<br />
<br />
Doenges M.E. (1989) Nursing Care Plan, Guidlines for Planning Patient Care (2 nd ed ). Philadelpia, F.A. Davis Company.<br />
<br />
Hamilton MG, Frizzell JB, Tranmer BI. Chronic subdural hematoma: the role for craniotomy reevaluated. Neurosurgery. Jul 1993.<br />
<br />
Harsono (1993) Kapita Selekta Neurologi, Gadjah Mada University Press.<br />
<br />
Hlatky R, Valadka AB, Goodman JC, Robertson CS. Evolution of brain tissue injury after evacuation of acute traumatic subdural hematomas. Neurosurgery. Dec 2004.<br />
<br />
Long; BC and Phipps WJ (1985) Essential of Medical Surgical Nursing : A Nursing Process Approach St. Louis. Cv. Mosby Company.<br />
<br />
Sjamsuhidajat, R. Wim de Jong (1997), Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. EGC, Jakarta.Aca.Erlind_Dolphinhttp://www.blogger.com/profile/04320514247346944932noreply@blogger.com1